Mohon tunggu...
Bagas Candrakanta
Bagas Candrakanta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

SMI - Sopan Mengelaborasi Ide

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beda Jepang dan Indonesia dalam Menikmati Karya

31 Oktober 2017   08:23 Diperbarui: 31 Oktober 2017   09:50 1843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

|Contoh Jepang |

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya yang sebelumnya. Di tulisan tersebut penulis menuangkan khalayan tentang bagaimana penduduk Jepang bisa hidup dengan karya dan mengapa Indonesia belum banyak "menelurkan" pekaryanya hingga ke kancah internasional. Disini penulis tidak menempatkan diri sebagai pekarya, tetapi sebagai penikmat karya. Karena menurut hemat penulis, pembuat karya dan penikmat karya memiliki hubungan suka sama suka, butuh saling butuh. 

Ini masalah selera dan selera orang berbeda-beda. Namun, perlu disadari bahwa karakterlah yang menciptakan selera, sehingga menghasilkan permintaan akan sebuah karya. Pada saat penikmat karya menginginkan karya yang baik, disitulah pembuat karya sangat berusaha menyediakan karya yang baik agar laku. Vice versa, jika saya puas dengan karya yang apa adanya, pekarya akan mengulangi formula yang apa adanya. Karakterlah yang mempengaruhi selera, yang pada ujungnya menentukan karya apa yang akan ada di masyarakat. Dalam hal karakter, Jepang adalah contoh yang baik untuk menjawab mengapa banyak pekarya dari Negeri sakura bisa menghasilkan karya yang dikenal seluruh dunia.

|Beda dan Berkarakter| 

Jika saya googling Negara yang weird alias aneh, alias beda, saya pasti menemukan Jepang. Jepang memang aneh,  tapi sungguh memiliki karakter, memiliki ciri khas. Saking anehnya dan absurdnya, banyak restoran di Jepang yang pelayannya adalah wanita berbaju robot. Astaga. Lantas, apa karakter Jepang sehingga membuatnya beda dengan Negara lain? Inner child. Hampir semua WNJ (warga Negara Jepang) memiliki sisi kekanak-kanakan yang superb. Di benak kita WNJ itu pasti disiplin, pekerja keras, dan tegas, kan? Tetapi, Menurut, Tetsuya Honda, CEO dari 'Blue CurrentJapan',WNJ bisa saja bertingkah 'gila' dan kekanak-kanakan bahkan pada saat lingkungan profesional! Wow! Setiap WNJ memiliki 2 kepribadian, yaitu kepribadian pada umumnya dan kepribadian anak-anak. 

Nah, Sosok anak kecil inilah yang memungkinkan mereka untuk kreatif yang beda, bebas, dan mengejutkan. (sumber) Inilah karakter penduduk di Jepang yang membuatnya beda. Dari pemikiran inilah muncul karya yang bagi saya sangat mudah diremehkan dan membuat saya mengatakan, "ah cuma kartun". Intinya, karakter Penduduk Jepang yang penuh dengan imajinasi menimbulkan selera khusus di masyarakatnya dan berkata, "Gua mau nonton anime dan baca manga".

|Dunia Kartun|

Pada saat mengetahui karakter WNJ adalah Superb Inner Child, penulis tidak percaya bahwa hal tersebut bisa sangat mempengaruhi dalam hal berkarya. Mari lihat gambar-gambar berikut:

Welcome boardnya aja seperti ini (Dokpri)
Welcome boardnya aja seperti ini (Dokpri)
 
Laundry lho ini. Bukan restoran sea food. (Dokpri)
Laundry lho ini. Bukan restoran sea food. (Dokpri)
Lucunya papan petunjuk
Lucunya papan petunjuk
Gambar tulang di klinik. Tulang lho ini. (Dokpri)
Gambar tulang di klinik. Tulang lho ini. (Dokpri)
Bukan lagi shooting film. Ini di restoran. (Dokpri)
Bukan lagi shooting film. Ini di restoran. (Dokpri)
Sumber dari gambar-gambar diatas adalah ini. Gambar-gambar diatas adalah bukti inilah karakter WNJ dan betapa childishnya penduduk Jepang sehingga membuat saya bergumam, "ada-ada aja". Seperti berada di dunia kartun. Bayangkan Anda sedang jalan-jalan di bundaran HI saat car free day dan melihat banyak cosplay Si unyil  bertebaran dimana-mana atau Anda sedang berkunjung ke kota Depok dan menemukan patung Jarwo setinggi 10 m? Ada-ada saja, bukan? Itulah yang terjadi di Negeri sakura. Penduduknya sangat menghargai karya-karya seperti Pokemon dan Dragon Ball. 

Mereka sungguh menikmati hal yang sungguh sederhana, yaitu kartun. Alhasil, Di US, Pikachu dan merchandise Pokemon lainnya menjadi saingan ketat dengan kartun lokal seperti Superman dan avengers.Hal ini dikarenakan karakter Jepang yang menciptakan selera bagi masyarakat sehingga membuat banyak pekarya merasa aman memperdagangkan karyanya.

|Negara Maju|

Selain mempunyai karakter uniknya, penduduk Jepang juga sudah di topang dengan kemajuan perekonomian yang baik. Jepang menduduki peringkat ketiga dalam world's biggest economies.(sumber)(sumber) Menurut situs business insider, Jepang termasuk dalam 15 Negara paling inovatif di dunia. Dalam hal teknologi, Jepang adalah salah satu dari yang terbaik. Apalagi masalah robot. Jadi, mari bayangkan sebuah Negeri yang tidak terlalu besar dan tidak ada sumber daya alam yang melimpah tetapi indah dengan alam dan budaya, didukung dengan penduduk yang sungguh berkarakter dan teknologi yang maju. Membayangkannya saja sudah bikin ngiler. Bandingkan dengan Indonesia. Jangankan perekonomian yang baik, mengurusi demo berjilid-jilid saja repot.  

|Pada Akhirnya|

 Karakter menciptakan selera. Lantas, karakter seperti apa yang dimiliki masyarakat Indonesia sehingga menciptakan selera dan membuat kita merespon, "ini baru Indonesia!" ? Saya bisa dengan tegas mengatakan, "Lack of character".Tak terkeculai saya lho ya. Karena sayalah yang membuat Raffi Ahmad, Awkarin dan Anya Geraldine tenar di dunia perindustriannya masing-masing. 

Saya juga yang membuat acara Rumah Uya masih ada sampai sekarang. Dan saya juga yang membuat Farhat Abbas percaya diri mencalonkan dirinya menjadi presiden Indonesia. Contoh diatas adalah mereka, yang mengaku pekarya, yang terkenal hanya dengan 'drama kontroversial'. Inilah yang digemari saya dan jutaan banyak warga Indonesia lainnya, yaitu memberikan mereka panggung untuk tenar dengan formula 'micin'. Inilah selera kita, karakter kita. Ironisnya, mereka yang berkarya dengan sungguh-sungguh, mengerutkan kening dan menghabiskan kopi bergelas-gelas setiap harinya, beritanya tertutup alias tak terekspos oleh mereka yang.... itu.  

 Akhir kata, tidak masalah menyukai karya 'rendahan'. Tapi saya sadar ada opsi lain sebagai penikmat karya untuk berkontribusi agar karya Indonesia meroket. Opsi tersebut adalah menjadi aneh, menjadi beda, dan menjadi berkarakter dalam berselera.  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun