"Prita Istri Kita' Tangisan Perempuan Melayu Punya Suami Guru yang Jujur"Di usianya yang tidak lagi terbilang muda, Wan Hidayati masih terlihat energik di atas panggung. Wan juga terlihat penuh kharisma dan mampu membuat penonton seperti terhipnotis saat menyaksikan monolog "Prita Istri Kita", di Gedung Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (16/12/2018).
Prita Istri Kita karya Arifin C Noer ini cukup menarik untuk ditonton. Selain dialog-dialognya diucapkan dengan dialek Medan, monolog juga disisipi gerak-gerak tarian dengan akar tradisi Melayu. Musik yang tertata apik membuat penonton betah menyaksikan pertunjukan hingga usai.
Monolog ini dibuka dengan seorang lelaki (Burhan Syarif) memakai kostum Teluk Belanga menyampaikan petatah-petitih. Melalui pantun khas Melayu, lelaki tua itu menyapa penonton mengucap salam dan juga mengatakan bahwa mereka adalah rombongan dari Teater Nasional Medan.
Hampir sepanjang pertunjukan penonton juga dihibur dengan lagu-lagu Melayu diiringi musik yang juga khas Tanah Deli itu. Barangkali Wan Hidayati mampu menjadi pengobat rindu warga Sumut yang ada di Yogjakarta malam itu. Kerinduan akan lantunan lagu-lagu dan juga musik Melayu yang khas.
"Bagus mainnya ibu itu (Wan Hidayati, red). Apalagi dibawakan dengan dialek Medan. Setidaknya kita seperti sedang berada di Medan. Apalagi musik dan lagu-lagunya bagus dan asyik didengar," ujar Irul saat diwawancarai usai pementasan.
Di pentas, dibangun setting dinding rumah papan oleh Handono Hadi dan Hadira Herawadi. Ada meja makan yang di atasnya terlihat bakul nasi, ceret air dan piring-piring serta cangkir yang semuanya terbuat dari kaleng. Selain menginformasikan kehidupan yang serba kekurangan juga menggambarkan era tahun 80 an. Di sebelah kiri panggung sebuah kursi goyang terletak begitu saja.
Tampak Prita keluar dari dapur lantaran tutup cangkir kong terjatuh dan menggelinding ke ruang tamu. Sambil mengatakan, "salah ku...salah ku..." istri guru yang tak mau menerima amplop itu, setengah berlari mengejar tutup kong yang menghilang ke balik wing pentas.
Kemudian dia seperti menyesali telah begitu bodohnya karena selalu membayang-bayangkan hidupnya bersama suaminya yang miskin. Sambil menunggu suaminya pulang mengajar, Prita pun asyik masuk dengan segala khayalannya.
Prita harus menerima nasibnya sebagai perempuan Melayu Deli yang suaminya hanya seorang guru di sekolah negeri. Arifin C Noer dengan apik membidik kehidupan seorang guru pemerintah dengan gaji kecil yang waktu itu hanya berkisar beberapa puluh ribu saja.