Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

PKH dalam Empat Babak

2 Maret 2019   23:53 Diperbarui: 3 Maret 2019   00:21 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Heltini dan warung baksonya (sumber: pkh.kemensos.go.id)

Poverty is a lot like childbirth -- you know it is going to hurt before it happens, but you 'll never know how much until you experience it -- J.K. Rowling.

Judul tulisan ini memang mirip judul film.  Program Keluarga Harapan (PKH) sebenarnya mirip sebuah cerita film.  Ada tokoh yang sukses, ada pula yang tokoh yang gagal.   Ada tokoh protagonis, adapula tokoh yang antagonis.      PKH adalah upaya Pemerintah guna percepatan penanggulangan kemiskinan.   Program ini diluncurkan sejak tahun 2007 Pemerintah Indonesia telah melaksanakan PKH.   PKH dalam tulisan ini juga dibagi dalam empat babak. Menggambarkan bagaimana PKH dapat mengubah kehidupan seseorang.

Babak Pertama

Di sebuah kampung di daerah kumuh pinggiran Jakarta hidup seorang lelaki kurus dan kusam bernama Sugih (bahasa Jawa artinya: kaya).   Namanya  mengandung doa yang baik namun nasibnya tak sebaik namanya.   Kata orang jawa, kabotan jeneng atau keberatan nama.   Hidupnya berada di bawah garis kemiskinan.   Buat makan sehari-hari saja susah, apalagi kalau Sugih harus memikirkan sekolah anak-anaknya.  Bisa pecah kepalanya.

 "Ibu hutang lagi di warung beras."

"Mereka sudah tak mau dihutangi lagi, Ayah.  Hutang kita sudah banyak," balas Sri, isteri Sugih.

Pikiran Sugih makin ruwet melihat semakin hari kandungan isterinya semakin besar.    Belum lagi si bungsu sedang demam tinggi.  Hanya ada uang dua ribu perak.  Cukup apa?

Sugih menatap nanar sungai Ciliwung yang ada dibawahnya.  "Tuhan, saya sudah tidak kuat lagi."

Air matanya mengalir deras.   "Maafkan Ayah, isteriku dan anak-anak."

Babak pertama ditutup dengan layar yang gelap gulita.

Babak pertama mengambarkan kemiskinan yang membuat orang mudah putus asa, menyerah pada nasib.  Penyair besar Irlandia, George Bernard Shaw, menyalahkan kemiskinan sebagai biang keladi kejahatan dan hal-hal sesat lainnya.   The greatest of evil and the worst of crime is poverty.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun