Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Digital Native, Medsos, dan Kerukunan Beragama

14 September 2016   22:14 Diperbarui: 14 September 2016   22:26 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keunggulan lainnya adalah tanpa batas.    Medsos tidak mengenal batas wilayah, waktu, dan tempat.    Istilahnya 24 jam non stop.  Seperti sudah diramalkan oleh Marshall McLuhan pada 1962 melalui karyanya The Gutenberg Galaxy, bahwa ketergantungan elektronik akan membentuk kembali duania menjadi sebuah desa global (global village).

Tanpa disadari sosmed telah mengubah cara orang berkomunikasi.    Orang tak lagi berinteraksi sosial dengan orang lain secara langsung tetapi melalui media gawai .    Komunikasi dilakukan secara cepat dan masal berdasarkan faktor kesamaan pandangan hidup, hobi, strata sosial, hingga agama.   Hingga lahirlah interaksi digital yang terkotak-kotak.    Para pengguna medsos mudah saja keluar (exit group) jika merasa tak cocok. 

Medsos sudah terlanjur dianggap sebagai media bebas sensor dan longgar.   Apa saja bisa ditulis dan dimasukkan ke dalamnya.  Mau yang dimasukkan itu pengetahuan berharga, unek-unek atau sumpah serapah, terserah penggunanya.  Sehingga medsos dijadikan alat untuk mencurahkan segala unek-unek di dalam dada.  Namun seringkali masalah pribadi dibesar-besarkan menjadi masalah kelompok.

Akhirnya seperti ditulis Merritt Row Smith terbentuklah determinasi teknologi.   Paham terbentuk pada awal jaman revolusi industri, bahwa teknologi adalah kekuatan untuk mengatur manusia.   Bahwa teknologi telah mengubah pola hidup manusia termasuk mobile technology.   Manusia dipaksa untuk berubah.   

Perubahan juga membawa implikasi terhadap mereka yang memiliki bibit-bibit radikalisme dan intoleransi.   Inilah paradoks global, dimana tekanan muncul antara kemajuan teknologi digital dan peningkatan paralel radikalisme dan intoleransi, dimana teknologi digital  berperan penting dalam mencapai tujuan mereka.

Berdasarkan survey nasional “Potensi Radikalisasi dan Intoleransi Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia”yang dilakukan Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia yang dirilis awal Agustus 2016 sebagian respoden menyatakan tidak bersedia bersikap radikal.   Namun ada satu gejala yang cukup mengkhawatirkan, sebanyak 8 persen dari 1.520 menyatakan bahwa mereka bersedia bahkan pernah melakukan kekerasan atas nama agama.  Misalkan melakukansweepingdan berdemontrasi menentang kelompok lain yang dinilai menodai dan mengancam kesucian Islam.  Bibit-bibit kebencian inilah yang dikhawatirkan akan tumbuh subur ketika berkolaborasi dengan medsos sebagai sarana untuk menyuarakan libido kekerasan dan kebencian mereka.  

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mancatat bahwa tingkat penggunaan internet pada 2014 telah mencapai 88,1 juta pengguna.   Diperkirakan pada saat ini jumlah pengguna internet telah mencapai 100 juta orang dengan penetrasi 40 persen dan Indonesia selalu menjadi 5 teratas di penggunaan konten global seperti Facebook, Twitter, dan lainnya. Berdasarkan data internal Facebook per Maret 2016, jumlah pengguna aktif bulanan Facebook di Indonesia pada kuatal-IV 2015 mecapai kisaran 82 juta orang.    Diungkapkan pula bahwa sebesar 94 persen pengguna Facebook mengakses jajaring sosial tersebut melalui telepon genggam

Generasi Digital Native di Era Digital

Generasi yang lahir di era 1980-an hingga 2000-an adalah generasi yang tumbuh di era digital.  Mereka ada di dunia ketika internet mulai merajalela.    Marc Prensky menyebut mereka sebagai generasi digital native.   Ada pula yang menyebut mereka sebagai Generasi Millineal yaitu mereka yang lahir pada rentang waktu 1982-an hingga awal 2000-an.    Sedangkan generasi yang tumbuh di atas mereka, yaitu sebelum era 1982-an adalah kelompok digital immigrant, beralih dari teknologi analog terjun ke teknologi digital agar bisa berbaur dan tidak dicap sebagai orang yang ketinggalan jaman.   

Generasi digital native inilah yang rentan terhasut ajakan media sosial untuk bersikap radikal dan intoleran.  Contohnya seperti dialami Muhammad Alfian Nauzi.   Seorang pemuda berusia 24 tahun yang diduga bergabung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di wilayah Suriah pada Maret lalu.   Polisi menyatakan Alfian terpikat pada ISIS melalui pertemanan di Facebook dan perbincangan tertulis via telepon seluler (Tempo, 11 September 2016).  

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Tito Karnavian menyatakan, belakangan banyak anak muda terlibat kelompok radikal akibat cuci otak yang menyebar melalui medsos.  Mereka kerap mendapatkan informasi yang salah melalui media ini dan akhirnya tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun