Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebenaran Agama Tertentu Tidak Mutlak Terhadap Kebenaran Agama yang Lain

19 Oktober 2015   14:21 Diperbarui: 19 Oktober 2015   17:10 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Umat itu memiliki pemimpin. Pastor, ustadz, pendeta. Mereka berperan penting dan langsung dengan umatnya. Peran mereka menjadi sentral dalam pengajaran agama di mimbar-mimbar agama. Apapun yang disampaikannya sangat berpengaruh pada umatnya.

Berikut yang sering terjadi. Para pemimpin umat kerap salah gunakan mimbar untuk provokasi umat. Memanfaatkan SDM umat yang randah untuk berbagai tujuan yang destruktif. Lebih banyak berbicara tentang iman atau kepercayaan orang lain daripada ajarannya sendiri. Atau, kasarnya, mereka menjelek-jelekan agama lain. Mendewakan agama sendiri, merendahkan yang lain dalam kotbahnya di gereja, masjid, wihara, dan sebagainya.

Pemimpin umat harus mengambil peran mencerahkan bagi umatnya. Mengajarkan nilai-nilai agamanya, juga menanamkan sikap dan pandangan saling menghargai toleransi antar umat. Hingga dunia kiamat pun, kita tidak bisa hidup dalam kemanunggulan. Misalnya satu suku, satu agama, dan seterusnya. Kita memang sudah ditetapkan 'berwarna'. Bukankah pelangi itu indah karena terdiri dari larik-larik warna yang lain?

Karena itu, tidak ada 'kebenaran' yang mutlak, selain kebenaran Tuhan. Agama memiliki kebenaran tentang Kebenaran Mutlak (Tuhan). Tapi praktek dan cara atau jalan menuju kebenaran itu berbeda. Dengan demikian, 'kebenaran agama' tertentu tidak mutlak terhadap 'kebenaran agama' lain. Maka ada ungkapan; agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu.

Tugas seorang pemimpin harus belajar tentang ajaran agama lain. Belajar tidak berarti mengimani ajaran tersebut. Belajar untuk tahu. Karena kita banyak yang sok tahu tentang ajaran orang lain, ternyata salah. Misalnya, seorang rohaniwan katolik bisa belajar islamologi. Belajar islamologi tidak bermaksud untuk mencari kelemahan agama islam. Seorang ulama islam bisa belajar kristologi. Juga tidak dimaksudkan untuk mencari kelemahan inti ajaran Kristen.

Pengetahuan dan ilmu semacam ini harus dipelajari oleh para pemimpin supaya mereka memiliki pemahaman tentang ajaran agama lain. Tapi, kadang kita sering salah bersikap seolah belajar islamologi atau kristologi sebagai upaya mencari kelemahan agama orang lain. Hal ini hanya dapat terjadi jika seseorang memiliki motivasi yang tulus.

Bekal pengetahuan itulah menjadi modal dialog. Dialog adalah media untuk mengurai dan mencegah konflik berbnuansa SARA. Mendengar dan saling memahami. Tidak mempertentangkan perbedaan. Tidak pula menyamakan perbedaan. Dialog berjalan hanya jika memiliki sikap rendah hati. Sikap mau mendengar orang lain. Menerima orang lain dalam situasi dan kondisi yang memang secara beda dari 'asal'nya (agamanya, sukunya, dan lain-lain).

Peran pemimpin atau tokoh agama sangat vital dalam menegakkan tonggak kerukunan antar umat beragama. Tidak bisa tidak! Harus! Caranya; berhentilah 'gosip' di mimbar-mimbar agama. Mengumbar ajaran atau iman orang lain. Bersuara dengan seruan-seruan sejuk supaya umat lebih mencintai kehidupan daripada memusuhi sesama karena perbedaan keyakinan. Upayalah mereka keluarga rumah ibadah dengan hati yang lapang, damai, dan sejuk. Bukan keluar rumah ibadat dengan emosi meledak-meledak dan bertindak anarkis.

Pemimpin atau tokoh agama harus membawa damai. Menjadi suri talaudan bagi umatnya dalam berperilkaku dan bertutur kata. Meredam emosi umat dan menyadarkannya; kebenaran agama yang satu tidak mutlak terhadap kebenaran agama yang lain. Kita hanya butuh sikap saling menghargai. Tidak perlu berteologi atau berfilsafat tinggi-tinggi tentang ajaran agama lain. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun