Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menimang Filosofi Pendidikan Pater Wasser: Keseimbangan Nilai Hidup dan Akademik

13 Mei 2019   16:23 Diperbarui: 14 Mei 2019   23:39 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pater Ernst Wasser SVD (Foto: Kompas.com)

Pagi-pagi, saya disuguhkan oleh tulisan mantan guru dan pembina asrama, bapak Maksi Mbangur, di halaman facebook-nya tentang Peringkat 10 UNBK 2019 SMA di NTT (Jumat, 10/05/2019). SMA St. Klaus Kuwu, sang almamater, berada di peringkat kesepuluh, sementara SMA St. Klaus Werang, saudara muda, menempati peringkat keempat. Kedua sekolah ini bernaung di bawah Yayasan Ernesto. Ernesto berasal dari nama Pater Ernst Wasser SVD, penggagas dan pendiri lembaga pendidikan ini.

Berbicara tentang Lembaga Pendidikan St. Klaus tak terpisahkan dengan sosok yang satu ini. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang. Menceritakan Lembaga Pendidikan St. Klaus, sama hal mengurai ketokohan dan kisah perjalanan misi Pater Wasser di Manggarai Raya.

Bila hari ini, SMA St. Klaus (Kuwu dan Werang) berprestasi, maka tak lepas dari sosok yang tegas dan sederhana ini. Ialah yang meletakan  dasar lembaga yang belum mencapai usia setengah abad ini.

Selain penggagas dan pendiri SMP/SMA St. Klaus, ia adalah guru Bahasa Latin. Bahasa "mati". Karena setelah dipelajari tak digunakan dalam percakapan seperti halnya Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman yang kami dipelajari.

Pelayanan Pater Wasser tak hanya di dunia pendidikan. Proyek infrastruktur pun dilakukannya. Mulai jalan, jembatan hingga proyek air minum. Karyanya di bidang pendidikan adalah warisan terbesarnya.

Sejak berdiri SMP/SMA St. Klaus Kuwu, Pater Wasser menerapkan model pendidikan "Semi Seminari" -- setengah seminari. Konsep ini yang diperkenalkan Pater Wasser dan mendapat reaksi dari kalangan imam. Karena alumni SMA St. Klaus Kuwu masuk seminari tinggi tanpa melalui Kelas Persiapan Atas (KPA).

Disebut Semi Seminari karena di sekolah ini menerima pula pelajar putri. Lain-lainnya sama. Mereka menerima pelajaran umum pagi hingga siang harinya, sedangkan sore harinya, siswa-siswi menerima pelajaran khusus "seminaris" seperti Kitab Suci, Sejarah Gereja, Bahasa dan Bahasa Latin.

Model pendidikan "Semi Seminari" ini memberikan dampak yang luas. Panggilan tak melulu berasal dari lulusan seminari. Banyak pula panggilan yang berasal dari luar seminari.

Sebagai lembaga semi seminari, siswa yang melanjutkan ke biara tak harus melalui kelas persiapan sebelum menjalani masa novisiat. Itu sisi istimewa SMA St. Klaus.

Selain model pendidikan, Wasser memperkenalkan dua sistem penilaian sebagaimana diterapkan di seminari-seminari. Penilaian asrama dan sekolah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Buruk penilaian di sekolah, baik penilaian di asrama tak dapat menyelamatkan siswa, begitu pula sebaiknya. Mereka yang bertahan di sekolah adalah mereka yang memperoleh nilai baik di sekolah dan asrama.

Penilaian ini bukan berarti sekolah pilih-pilih siswa. Toh, mereka yang "terbuang" bukanlah orang yang terburuk. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap diri seseorang. Kebanyakan mereka yang pindah menjadi siswa berprestasi di sekolah lain.

Kenyataan ini, dalam perspektif kami sebagai tugas perutusan. Perutusan menjadi yang terbaik sebagai teladan dan garam yang ditebarkan St. Klaus kepada yang lain. Pendidikan bukan soal saja transfer knowledge melainkan juga transfer nilai hidup.

Penulis mempunyai catatan buruk seandainya tak diselamatkan oleh paman saya. Pater Wasser dan para pembina telah membuat keputusan untuk mengeluarkan saya dari St. Klaus.

Persoalannya, bukan masalah akademis di kelas melainkan penilaian di asarama. Mulai perilaku yang cekcok dengan guru Ketrampilan, Sr. Hermin, hingga aksi melawan, melalaikan kehidupan doa dan membolos dari asrama -- meskipun itu sekali saja. Pater Wasser masih memiliki kebaikan yang tak dapat saya lupakan. Suatu waktu kami berpapasan di lorong ruang makan, saat itu, saya duduk di kelas satu SMA.

"Kraeng, saya beri percobaan satu tahun. Kalau kraeng bertahan, kraeng tetap di sini, jika tidak kraeng silahkan angkat kaki dari sini."

Itulah sosok Pater Wasser, humanis, tegas, lugas dan disiplin. Kata-katanya itu menjadi alarm dan menyebabkan saya bertahan hingga tamat dari sana. Untungnya, ada satu pelanggaran yang tak sampai ke telinganya seperti main catur pada saat jam tidur.

Saya menilai Pater Wasser memiliki pandangan tersendiri dalam pendidikan. Pendidikan itu harus ada keseimbangan antara nilai hidup (value of life) dan nilai akademik (mark). Tak ada gunanya seorang pelajar memiliki nilai tinggi di sekolah bila bernilai buruk di asrama (kehidupan di luar kelas). Begitu pula, sia-sia seorang siswa memiliki raport positif di asrama, tetapi memiliki kemampuan akademik yang rendah di sekolah.

Pater Wasser menghendaki ada keseimbangan. Dan, mereka yang gagal di kelas tak berarti mereka "bodoh", semua yang masuk di Kuwu adalah mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tak berarti Pater Wasser hanya mencari anak yang pintar pula anak yang baik. Semua mereka yang masuk ke Kuwu dengan standar yang sama, diberikan kesempatan yang sama untuk berkompetisi di sekolah maupun di asrama. Pater Wasser membutuhkan orang yang taat, disiplin dan setiap pada pilihannya ketika masuk St. Klaus.

Sepanjang kami mengikuti pelajaran Bahasa Latin, kami tidak pernah meraih nilai 10 sekalipun jawaban benar semua. Sahabat saya, Joseph Ardi Susanto, mampu menjawab semua pertanyaan PR yang diberikannya tetapi Pater Wasser hanya memberi nilai 9. Sahabat saya itu dan kawan-kawan iseng bertanya, "Pater, kenapa nilai kami hanya 9?"

Dengan nada dingin, tanpa guyon, Pater Wasser menjawab, "Satu untuk Tuhan."

Saya berpikir Pater mungkin bermaksud untuk bercanda tetapi lama kemudian, setelah meninggalkan almamater, saya baru sadari satu pelajaran penting darinya. Kesempurnaan itu miliki Tuhan. Kita boleh mampu menjawab semua pertanyaan dan memecahkan semua persoalan hidup ini, tetapi kemahasempurnaan itu berasal dari Tuhan. Kita boleh meraih nilai 9 untuk prestasi diri kita, tetapi kita wajib meninggalkan 1 untuk Tuhan -- kembali kepada-Nya. Tampaknya tidak rasional, tetapi itulah perspektif pendidikan menurutnya.

Proporsi nilai ini mengajarkan kita bahwa kesempurnaan itu hanya ada pada Tuhan. Bila kita mampu meraih nilai sempurna itu karena ada 1 nilai yang Tuhan genapi pada nilai kita. Tuhan menggenapi kesempurnaan kepada kita tak secara langsung. Ia mengaruniakan kita akal. Karena akal itu kita dapat menggapai kesempurnaan akademik. Maka dihadapan-Nya, kita harus selalu rendah hati.

Selain itu, Pater Wasser mengajarkan sesuatu kepada kami tentang rasa syukur. Manusia kerap merasa diri paling pintar, hebat dan tak tersaingi. Memiliki nilai yang tinggi mengangkat dirinya lebih tinggi daripada orang lain. Tetapi kesempurnaan itu menjadi cacat atau berkurang, bila Tuhan mengambilnya sekalipun besaran angkanya hanya 1.

Jadi, dalam kacamata penulis, pencapaian duo SMA St. Klaus (Kuwu dan Werang) dalam sepuluh besar nilai-nilai rata UNBK 2019 akan belum lengkap bila tidak diikuti nilai perilaku alumninya.

Hakikat pendidikan itu ada keseimbangan antara perilaku dan kemampuan akademis. Itu pandangan saya, filosofi yang ditanam Pater Wasser meskipun ia tak pernah menyatakan secara tegas.

Bukankah kita dapat merasakan dan menilainya. Itu pandangan saya, entah bagaimana dengan pandangan alumni yang lain?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun