Mohon tunggu...
Azzura Natania
Azzura Natania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tania

251018

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahasa untuk Indonesia

24 Februari 2021   16:51 Diperbarui: 24 Februari 2021   17:01 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara bus mengeram redam, bersahutan dengan geraman mobil berkekuatan sport utility vehicle yang mencoba mendahului mobil di depannya. Menginjak pedal gas lebih dalam untuk menghindari terkena amukan sisa emisi bus yang sejak tahun lalu harus dimuseumkan saat tiba di tanjakan dengan kemiringan 45º. Sementara awan kelabu masih setia bertengger di atas kepala gadis cantik dengan bantal leher bermotif bunga-bunga. Dia Alyna yang baru bangun dari tidur nya.

“Kamu udah bangun, Al?” sapa Meisya, ibu Alyna yang duduk di bangku sebelah kiri depan. Mata Alyna yang sejak empat jam lalu terpejam melebar. Melihat sekeliling jalan yang dikelilingi banyak pohon. Cuaca memang cerah saat itu, tapi kesejukan begitu terasa walau jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

“Kita benar pindah ke desa?” tanyanya mengabaikan pertanyaan yang menurutnya tak memerlukan jawaban. Karena ia benar – benar tidak menyangka akan pindah tempat tinggal dari kota ke desa.

“Iya benar, Ayah ada proyek di daerah sekitar sini. Tempatnya bagus kok, ada waduk Gajah Mungkur yang terkenal.” Meisya menjelaskan tentang waduk yang membendung sungai terpanjang di pulau Jawa yaitu sungai Bengawan Solo panjang lebar.

Waduk yang cukup terkenal dengan keindahan alamnya karena terletak di atas pegunungan di selatan kabupaten Wonogiri. Belum lagi ada kisah haru di balik pembangunan waduk yang dibangun pada tahun 1976 tersebut. Di mana waduk tersebut dibangun areal pembebasan lahan tanah hunian yang mencangkup 7 kecamatan yang harus secara sukarela meninggalkan ‘tanah kelahirannya’. Karena itu waduk tersebut memiliki slogan ‘sabda sakti nugrahaning praja’ yang berarti kata suci pengorbanan.
***
Masalah Alyna belum cukup sampai pindah ke desa, saat kenyataan ia harus melewatkan harinya selama dua tahun di sekolah yang kebanyakan ia tak mengerti bahasanya. Pupus sudah harapan akan mendapat pacar yang keren dengan tunggangan kuda besi berwarna merah bertuliskan nama ninja. Yang ada, ia akan berkenalan dengan laki-laki pengembala sapi atau semacamnya. Sangat jauh dengan ekspektasi nya. .

“Dheweke ayu, pindahan neng ngendi?”

Laki-laki berkulit cokelat berbisik pada salah satu temannya. Insting perempuan tidak bisa dibohongi. Alyna tahu mereka membicarakannya. Dengan ekspresi jijik Alyna menjauhi teman-teman sekelasnya dan berjalan menggunakan earpod yang memutar musik kesukaannya. Alyna sama sekali tak berniat untuk mencari teman sedikitpun. Karena menurutnya tidak ada gunanya berteman dengan orang yang bahasa nya tidak ia mengerti. Buang – buang waktu saja.
“Ojo nyedhak marang dheweke, sombong gitu.” Gadis dengan poni klimis berbisik pada salah satu temannya.
Alyna tidak mempedulikan. Ia berpikir, anak itu pasti membicarakan perihal wajah cantik Alyna yang bisa menjadikannya pusat perhatian di sekolah itu.
Gadis kelahiran Jakarta, 15 tahun lalu itu memang nampak berbeda dari siswa lainnya. Di mana ia memiliki kulit putih cerah dengan bola mata besar dan hidung mancung. Berbeda dengan kebanyakan siswa yang memiliki kulit cenderung cokelat akibat paparan sinar matahari yang terasa lebih dekat dengan mereka. Mengingat desa itu berada di atas perbukitan.
***
Kesombongan Alyna mengantarnya pada masa dimana ia sudah bersekolah hingga tiga minggu lamanya. Tapi, tak memiliki satu orangpun teman. Bukan salah Alyna yang memang tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Kenapa mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia saja? Pikir Alyna.
Hingga satu hari yang mungkin akan merubah sifatnya. Alyna mendapat kabar jika Meisya tidak bisa menjemput karena ada perkumpulan ibu-ibu binaan koperasi unit desa. Dengan terpaksa ia harus pulang menggunakan angkutan umum. Dan sialnya lagi, ternyata ada jam pelajaran tambahan yang diberikan guru hingga pukul 4 sore.
Sebenarnya itu bukan masalah Alyna, karena di Jakarta ia terbiasa pulang pukul 5 sore. Sejenak Alyna melupakan sesuatu, ia bukan di Jakarta. Ia berada di sebuah desa.
Alyna menaiki angkutan umum yang menurutnya lebih mirip dengan mobil travel. Ia terhimpit di jok pojok paling belakang karena ada seorang nenek membawa dua karung gabah yang siap digiling tepat ke samping Alyna. Membuat tubuh kecilnya semakin tidak terlihat oleh siapa pun.
“Dari pada mendengar ocehan nggak penting nenek itu, mending aku dengerin lagu,” batin Alyna dalam hati. Alyna memasang earpod – nya dan menyetel lagu Jealous milik Labrinth guna meredam riuhnya ocehan nenek tentang harga sandang pangan yang mulai naik, juga tentang si kakek yang sedang menunggu sapi peliharaannya melahirkan. Ada – ada saja, pikir Alyna.
***
Alyna kini dalam masalah besar. Hari sudah gelap saat ia membuka mata. Ia menatap layar ponselnya yang gelap tanpa cahaya dengan pias. Rupanya ia tertidur selama setengah jam di dalam mobil bermanuver tinggi itu dan sudah melewati tempatnya turun. Gadis itu turun dan mencoba mencari angkutan umum yang bisa membawanya pulang ke rumah. Tapi nihil, semua angkutan umum hanya beroperasi hingga pukul 5 sore.
Bagaimana caranya dia akan pulang ke rumah?
Alyna melihat sekeliling, terdapat banyak penjual sayur dan hewan ternak ternyata. Pantas saja jika tempat itu tercium bau yang tidak sedap. Membuat Alyna merasa tidak nyaman dengan bau nya.
Alyna mencoba bertanya pada beberapa orang agar bisa menunjukkan jalan untuk kembali pulang ke rumah. Tapi semuanya hanya berbuah decakan serta helaan nafas dari bibir Alyna. Karena Alyna tidak mengerti samaa sekali dengan bahasa mereka.
Kulon
Ngetan
Ngalor
Ngidul
Apa para warga di sekitar sini tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia saja? Alyna ingin menangis rasanya.
Sampai sebuah tepukan pelan pada bahunya, membuatnya sedikit terlonjak kaget. Laki-laki dengan dengan tinggi badan sama dengannya dan di tangan kanannya menggenggam tali yang terikat pada leher seekor kambing. Sepertinya anak laki-laki itu baru pulang mengembala seekor kambing itu.
“Kamu bisa bantu aku? Aku pulang ke alamat ini.” Alyna mencoba memberi tahu patokan dimana seharusnya ia turun dari angkutan umum.
Anak laki-laki itu mengangguk. Kemudian berjalan melalui Alyna. Saat ia merasa Alyna tidak mengikutinya, ia membalik badan dan mengajak Alyna untuk ikut dengan sebuah lambaian tangan.
“Kamu tinggal di sini?”
“Kamu sekolah kelas berapa?”
“Kamu beneran tau tempat ini kan?”
“Jangan-jangan kamu nggak ngerti bahasa Indonesia, ya?”
Laki-laki itu hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Tak berniat sedikit pun untuk membalas ucapan Alyna.
Alyna yang kesal, hanya bisa menggerutu. “Kalian itu memang boleh cinta sama bahasa daerah kalian. Tapi, harusnya kalian juga cinta bahasa Indonesia. Kalian itu masih tinggal di Indonesia.”
***
Satu setengah jam mereka lewati dengan berjalan kaki. Beberapa kali Alyna melihat laki-laki itu melempar senyum pada orang berlalu lalang yang mereka lewati. Bahkan sempat membelikan Alyna sepotong roti untuk mengganjal perutnya dan dan juga meminta seseorang untuk menjaga kambing yang tadi ia bawa. Tapi yang membuat Alyna tidak mengerti sama sekali adalah laki-laki itu sama sekali tak berbicara.
Padahal jika di lihat, penampilan Alyna lebih menarik dibandingkan anak laki-laki itu. Tapi kenapa sepanjang jalan banyak sekali orang yang memberikan senyum padanya. Sementara Alyna seperti dianggap tidak pernah ada.
Setelah sampai di tempat tujuan, anak laki-laki itu menunjuk ke arah rumah Alyna seakan ingin mengantar Alyna hingga depan rumahnya. Dan saat sampai di rumah, Alyna langsung menghambur ke pelukan Meisya.
Ariyanto, ayah Alyna sudah akan meminta bantuan kepala desa untuk mencari putrinya yang belum juga kembali. Kepala desa berlalu lega ketika melihat Alyna sampai di rumah dengan selamat.
***
Setelah selesai mandi, Alyna dipanggil oleh Meisya untuk mengucapakan terima kasih pada anak laki-laki itu. Rupanya anak laki-laki itu dan kepala desa belum pulang dari rumahnya dan sedang mengobrol dengan ayahnya.
“Alyna, ayo kamu bilang terima kasih sama Jeno.” Ariyanto meminta Alyna duduk di sebelahnya.
“Jadi nama kamu Jeno? Makasih ya, Jen.” Jeno hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Alyna sedikit kesa, kenapa Jeno sepertinya tidak ingin berbicara dengan nya. “Jen, kamu kan bisa bahasa Indonesia. Jawab ucapan makasih aku, dong! Nggak sopan tau!” sungut Alyna sebal.
Ariyanto yang ada di samping Alyna dengan cepat membekap mulut putri kesayangannya itu. Dan berkata pada Jeno.
“Maafkan Alyna ya, Jeno.”
Alyna mengerutkan keningnya bingung, kenapa ayah nya bersikap seolah ia sudah melakukan kesalahan besar.
“Nak Alyna, Jeno bukan tidak mau menjawab ucapan Alyna. Akan tetapi dia memang tidak bisa menjawabnya.” Kata kepala desa yang duduk di samping Jeno, mencoba memberi pengertian pada Alyna.
“Kenapa? Bukannya Jeno mengerti bahasa Indonesia yang aku pakai?”
‘Jeno memang mengerti. Tapi, dia tidak menggunakan bahasa itu saat berbicara dengan orang lain.” Kepala desa itu nampak ragu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Membuat Alyna semakin penarasan sekali.
“Kenapa? Bukan nya setiap sudut negeri ini seeharus nya menggunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia? Itu salah satu pedoman Bhinneka Tunggal Ika kan?”
Alyna tetap pada pendirian nya.
“Jeno tidak bisa berbicara Alyna, bahasa yang di gunakannya hanyalah bahasa isyarat. Jika kamu bilang bahasa Indonesia itu wajib digunakan di setiap sudut negeri ini, Jeno memiliki bahasanya sendiri untuk Indonesia.”
Alyna terdiam mendengar penjelasan kepala desa tersebut. Jeno tidak dapat berbicara, tapi ia tidak pernah kesulitan untuk berkomunikasi dengan siapa pun itu. Alyna merasa sedikit tertohok dengan kenyataan bahwa selama ini ia selalu mengeluh akan kesulitan bahasa yang akan ia gunakan sehari – hari. Padahal ia memiliki kondisi fisik yang sangat normal.
Jeno mengambil kertas dari saku bajunya, dan menuliskan sesuatu dan memberikannya pada Alyna.
‘Jika kamu merasa diri mu Indonesia, jangan pernah menganggap diri mu berbeda dari orang lain. Tersenyum adalah bahasa yang paling mudah di Indonesia. Bahkan di seluruh dunia.’
Alyna mengangguk dan tersenyum saat membaca tulisan Jeno itu. Kini ia menyadari satu hal, bahwa ada satu hal yang lebih sederhana dari sebuah kata – kata.
Bahasa Indonesia sangat beragam, akan tetapi yang paling sederhana dari sebuah kata adalah senyuman. Bahasa untuk Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun