Mohon tunggu...
Azzam El Hiker
Azzam El Hiker Mohon Tunggu... -

BERFIKIR UNTUK MENULIS ATAU MENULIS UNTUK BERFIKIR

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pelatihan Ijtihad Kolektif Fakultas Syariah UIN Maliki Malang

15 Oktober 2011   02:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:56 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Senin kemarin, ruang auditorium pasca sarjana UIN Maliki Malang dipadati oleh mahasiswa Fakultas Syariah. Begitu penuhnya sampai beberapa peserta harus rela berdiri. Begitulah suasana seminar pelatihan ijtihad kolektifyang diadakan oleh para dosen dan staf fakultas syariah. Acara seminar ini merupakan salah satu program dari Fakultas Syariah.

Seminar Ijtihad Kolektif kemarin mengundang dua orang pembicara yang cukup mumpuni di bidangnya. Prof. Dr. H. Ahmad Zahroh, M.A. merupakan orang penting dalam kepengurusan MUI wilayah Jawa Timur. Beliau melanjutkan program pascanya di Universitas AL Azhar Mesir lalu melanjutkan studi di Universitas Al Khortum Sudan. Desertasinya tentang Lajnah Bahtsul Masail NU 1926-1999 telah diterbitkan oleh LKiS dengan judul Tradisi Intelektual NU. Dr. Saad Ibrahim M.A. adalah dosen ahli ushul fiqh yang juga mengajar di fakultas syariah uin maliki malang. Meluluskan studi pasca dan doktornya di IAIN Jakarta.

Acara seminar dimulai pada pukul 09:30 dengan pembukaan oleh Dr. Roibin, M.Hi. lalu dilanjutkan dengan ceramah dari narasumber pertamaProf. Dr. H. Ahmad Zahroh, M.A. beliau memulai dengan menyapa para dosen fakultas syariah dan sedikit bercerita tentang kisah beliau ketika masih studi di sini. Beliau menyelesaikan program sarjana di kampus ini ketika dulu bernama STAIN Malang. Kemudian, beliau menceritakan tentang kisah pembuatan desertasi yang objeknya adalah NU. Kesulitan mendapatkan sumber karena NU tidak punya dokumen yang lengkap serta kitab-kitab lawas masih banyak yang bertuliskan pegon arab menjadi tantangan sendiri bagi beliau.

Beliau melanjutkan dengan membahas metode ijtihad yang dipraktekkan dalam Islam. Metode ijtihad yang dimaksud adalah metode ijtihad bayani, qiyasi, dan istishlahi. Dalam hal ini beliau menganggap mashlahat sebagai pertimbangan utama dalam ijtihad. Dengan demikian, fiqh kemudian dapat terbagi menjadi dua, yaitu fiqh ilmi dan amali. Fiqh ilmi adalah bentuk hasil istinbath yang benar-benar sejalan dengan teori, hadits, dan dalil-dalil. Sedangkan fiqh amali melihat konteks sebagai sudut pandang utama dalam istinbath.

Selanjutnya, Prof. Ahmad Zahroh menjelaskan tentang wacana ushul fiqh baru yang dideklarasikan oleh NU tentang metode ijtihad yang disetujui untuk digunakan dalam kalangan NU. Terdapat tiga metode ijtihad yang selama ini dipraktekkan oleh kalangan NU. Tiga metode tersebut kemudan dinamakan dengan metode qauly, ilhaqy, dan manhajy. Metode qauly digunakan oleh kalangan NU dengan mengambil ijtihad hukum yang merujuk pada 159 kitab-kitab klasik mu’tabarah. Beliau berkomentar bahwa metode ijtihad sudah seperti sesuatu yang sakral sampai-sampai banyak kalangan NU yang tidak mencoba merujuk kembali kepada al quran dan al hadits. Metode yang kedua yaitu ilhaqy, mengistinbath hukum model qiyas dengan merujuk kepada kitab-kitab klasik mu’tabarah yang 159. Metode yang ketiga yaitu manhajy, mengistinbath hukum dengan mengikuti jalan pikiran yang digunakan dan disusun oleh imam madzhab yang empat. Dalam suatu konferensi, metode qauly mendapat suara362 dari seluruh peserta. Metode ilhaqy mendapat suara 32 dan metode manhajy mendapat 8 suara. Memang, metode manhajy tidak berbeda dengan metode istinbath yang digunakan Muhammadiyyah.

Setelah Prof. Ahmad Zahroh berceramah selama sekitar 30 menit. Giliran narasumber kedua Dr. Saad memulai menyajikan materi. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB. Dr. Saad memulai dengan membahas antara NU dan Muhammadiyyah. Beliau mengeluarkan sedikit guyonan dengan berkata, “NU dan Muhammadiyyah sebenarnya sudah dekat bahkan berdampingan. Akan tetapi kemudian dipisah oleh Dr. Roibin yang duduk ditengah-tengah memisahkan kami”. Sontak seluruh ruangan bergemuruh mendengarnya. NU yang dimaksud adalah Prof. Zahroh dan Muhammadiyyah adalah Dr. Saad. Ya, Dr. Roibin duduk menengahi kedua narasumber karena sebagai moderator. Dr. Saad adalah seorang Muhammadiyyin yang sangat akrab dengan NU. Beliau pernah bercerita tentang beberapa orang dari Muhammadiyyah dan NU yang berkomentar tentang dirinya. Beliau mendengar beberapa dari mereka berkata, “jika NU seperti sampeyan maka kami Muhammadiyyah menerima, dan jika Muhammadiyyah seperti sampeyan kami NU juga menenerima”. Sekali lagi seluruh ruangan bergemuruh dan memberi applaus.

Dr. Saad memberikan banyak penjelasan tentang bagaimana menyikapi NU sebagai Muhammadiyyah atau menyikapi Muhammadiyyah sebagai NU. Beliau membenarkan konsep Prof. Zahroh bahwa memang perlu adanya fiqh ilmi dan fiqh amali. Sehingga menyikapi keputusan benar-salah sebagai sesuatu yang relatif sangatlah penting.

Banyak sekali guyonan dan cerita yang beliau sajikan sehingga membuat seluruh peserta seminar merasa puas. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Salah seorang peserta maju dengan menanyakan tentang bagaimana ukuran mashlahat dan seseorang menjadi mujtahid. Beberapa peserta lain mengajukan pertanyaan yang sama-sama menuju tentang bagaimana menyikapi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah.

Prof. Ahmad Zahroh memulai menjawab dengan menjelaskan kembali tentang istihsan, mashlahah mursalah, kualifikasi mujtahid dan mashlahah. Beliau lalu mengatakan bahwa seorang dengan titel doktor sudah bisa dijadikan ukuran untuk mujtahid fatwa. Pada umumnya, mashlahah bisa jadi ukuran jika memang benar-benar dibutuhkan pada suatu masa dan wilayah.

Dr. Saad menyambung dengan menjawab tentang bagaimana menyikapi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah. Bersikap relatif atau proporsional merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Beliau melanjutkan dengan menjelaskan konsep manhajy yang digunakan oleh Muhammadiyyah. Manhajy Muhammadiyyah tidak mengikut pada para Imam karena langsung merujuk pada Al Quran dan As Sunnah. Menurut majelis tarjih Muhammadiyyah bahwa ijtihad Muhammadiyyah tidak bersifat menentang dan masih menghormati para imam dan ulama lain. Disana dijelaskan apabila ada kesalahan yang ditemui dimohon untuk diajukan agar kemudian dipetimbangkan.

Prof. Ahmad Zahroh menyambung penjelasan tentang menyikapi perbedaan tentang NU dan Muhammadiyyah. Beliau menjelaskan bahwa benar-salah sangat relatif. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang cukup bahkan dapat mengubah hukum halal menjadi haram. Disini yang terkuat adalah persepsi masing-masing. Beliau bercerita bahwa pernah mengistinbath hukum, mengajukannya dikalangan para kiai di suatu wilayah. Istinbath beliau diterima tetapi tidak digunakan hanya karena persepsi masyarakat disana lebih menghormati dan mempercayai kiai setempat.

Dalam menyikapi perbedaan, beliau kemudian menjelaskan kembali bahwa perlu bagi kita untuk memegang dua macam fiqh yaitu fiqh ilmi dan amali. Fiqh ilmi digunakan untuk kalangan yang lebih tinggi karena mereka akan menerima bentuk ijtihad yang objektif sesuai teori. Akan tetapi adakalanya kita harus menggunakan fiqh amali ketika berhadapan dengan kalangan yang cukup sulit menerima pendapat kita sehingga memberikan mereka mashlahat lebih utama. Ikhtilafu ummati rahmatun, perbedaan merupakan rahmat dengan syarat, kita harus menerima perbedaan itu dengan kebijakan dan cinta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun