Mohon tunggu...
azzam abdullah
azzam abdullah Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan Swasta

Lulusan Magister Manajemen yang sedang kerja di perusahaan swasta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, di Tengah Pusaran Digitalisasi

18 Maret 2021   13:25 Diperbarui: 18 Maret 2021   14:09 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Republika.co.id

 

Guru : Ditengah Pusaran Digitalisasi
Oleh : Muhammad Abdullah 'Azzam, SM.

Pandemi covid-19 membawa perubahan, penyesuaian akan cara umat manusia menjalani hidup. Kondisi pandemic dengan tingkat penularan lebih besar dari influenza, membuat kita dipaksa bertahan dan membatasi diri. Penggunaan masker menjadi sesuatu yang wajib jika kita bepergian, beberapa negara dunia menerpakan kebijakan lockdown guna membatasi penularan dari orang asing, dan bahkan kita dihimbau untuk tidak keluar rumah. Bekerja, berolahraga bahkan mengikuti proses pendidikan formal dilakukan di rumah saja dengan bantuan teknologi.

Penggunaan teknologi canggih menjadi semakin lumrah bagi kita di tengah masa pandemic. Dalam keberjalanannya, dengan segala kekurangan ternyata dengan modal internet yang bagus dan piranti gawai yang memadai proses transfer of knowledge, penyampaian ilmu pengetahuan tetap bisa dilakukan. Bahkan jika menilik proses pendidikan student self-learning, proses belajar mengajar jarak jauh ini benar-benar mengoptimalkan proses tersebut. Dalam dunia internet ilmu pengetaghuan terserak, semua bisa diakses tergantung dengan kebutuhan. Bahkan sangat mungkin dengan internet kita bisa memperoleh pengetahuan baru langsung dari ahlinya, yang bisa jadi "lebih ahli" dari guru-guru di sekolah formal.

Tidak heran jika kemudian, dalam proses belajar-mengajar jarak jauh ini ada guru-guru yang akhirnya "memposisikan diri" sebagai pembawa perintah. Bertemu dengan siswa hanya memberikan tugas dan siswa dibebankan mencari pengetahuan secara mandiri. Jujur hal ini penulis rasakan sendiri, karena artikel dalam blog pribadi penulis yang memuat pengetahuan ekonomi umum hingga level mahasiswa S1 ramai dikunjungi dan mengalami penilngkatan trafik signifikan setelah terjadinya pandemi. Dengan fakta bahwa "murid ternyata bisa belajar sendiri" akhirnya muncul sebuah pertanyaan, buat apa kemudian siswa sekolah dalam format pembelajaran formal di kelas-kelas?

Jika kita menilik bagaimana pendidikan di Indonesia, kita masih mudah menemukan bahwa hampir semua proses pendidikan dinilai secara kuantitatif. Jika ditemukan seorang anak memiliki nilai matematika 100 maka sangat mudah dihukumi anak tersebut pintar. Lebih jauh lagi, pengetahuan di aspek lain seperti kesenian, olahraga, Bahasa, bahkan ilmu social masih memperoleh pandangan miring dari khalayak. 

Yang saya alami sendiri sampai tahun 2011, di sebuah sekolagh ternama di Jawa Barat, terdapat komposisi kelas 1 Kelas XI IPA, 1 Kelas XI Keagaaman dan 2 Kelas XI IPS. Secara kasat mata mungkin dapat disimpulkan bahwa sekolah ini menghargai siswa-siswinya yang ingin mendalami pengetahuan social. Kenyataannya adalah, alasan kenapa terdapat 2 kelas IPS saat itu, adalah karena baik jurusan IPA ataupun Keagamaan menerapkan system seleksi. Tidak semua anak yang memilih untuk masuk IPA atau Keagamaan diterima, alhasil seluruh siswa yang ditolak memasuki kedua jurusan tersebut terlempar seluruhnya jadi siswa kelas XI IPS. Pahit sekali bukan?

Inilah yang akhirnya menciptakan sebuah iklim pendidikan yang sangat transaksional. Penilaian dari nilai kuantitatif, dan tugas guru seringkali hanya berhenti pada proses transfer pengetahuan sembari memastikian peserta didik memperoleh nilai memuaskan. Padahal saat peserta didik akhirnya mentas dan memasuki dunia paska sekolah, fakta menunjukkan bahwa tidak sampai 20% pengetahuan yang di enyam selama masa sekolah dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Saya ambil kasus sederhana, jabatan direktur keuangan di sebuah perusahaan dituntut memiliki latar belakang sebagai akuntan. Sekarang coba bayangkan berapa banyak ilmu pengetahuan yang harus dia koleksi untuk bisa memperoleh gelar akuntan. Dalam matematika saja, jika dia memilih untuk masuk jurusan IPA dia dituntut untuk bisa menyelesaikan perhitungan trigonometri, padahal akhirnya pekerjaan sang direktur hanya menuntun keahlian matematis minimal, kali bagi tambah kurang!. '

Maka pertanyaan seberapa pentingnya sekolah semakina jadi menjadi, dan menggaung semakin keras setelah dihadapkan pada fakta, fondasi pendidikan formal di Indonesia tidak mampu menghadapi gempuran pandemic. Kelas-kelas terbengkalai, guru akhirnya dihadapkan fakta bahwa mereka juga mungkin memiliki anak yang harus dididik, serta hal-hal lain yang menuntut sekolah formal menyesuaikan diri, melakukan proses pendidikan layaknya sekolah non-formal. Lantas, apakah dengan demikian profesi guru akhirnya punah? 

Pandemi : Re-Definisi Profesi Guru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun