Mohon tunggu...
Azzahra NisaulALiyyah
Azzahra NisaulALiyyah Mohon Tunggu... Penulis - Pemula

Always grateful ✨

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Kisah tentang Aku

19 September 2019   13:23 Diperbarui: 19 September 2019   13:28 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kira-kira pada 12 tahun yang lalu, saat aku masih berusia 5 tahun. Seperti halnya anak-anak yang lain, aku tumbuh menjadi anak yang sehat,lucu,cerdas,dan selalu membanggakan, kata Mama. Namun, saat usia 6 bulan aku berbeda dengan bayi pada umumnya. Saat pertama kali diberi bubur bayi pada saat itu, perutku seolah menolak asupan yang seharusnya jadi makananku. 

Entah kenapa akupun tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi, setelah ibuku berusaha mencoba berulang kali dengan berbagai cara dan mengganti varian rasa dari makanan itu,  tetap saja aku tidak mau makan. Untunglah, Allah menakdirkan aku memiliki ibu yang kesabarannya Allah lebihkan untuk dapat merawat ku.

Aku merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Ayahku seorang lelaki yang gagah, bertanggung jawab, dan sangat sayang keluarga. Ibuku seorang wanita yang cantik, lembut, penyayang, dan sangat perhatian pada keluarganya. Aku selalu bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan karena ditakdirkan menjadi anak mama dan papaku yang sangat ku sayangi.

Setelah belajar di taman kanak-kanak selama 1 tahun dan memasuki bangku Sekolah Dasar, aku sangat senang karena bertemu dengan banyak teman baru,  menurutku saat itu adalah saat yang paling menyenangkan karena yang kupikirkan hanyalah asyiknya bermain dengan teman-teman baru ku dan menyetor hafalan pancasila serta perkalian kepada ibuku sebelum waktunya tidur siang.

Entah karena aku susah makan atau memang sudah takdir yang Mahakuasa, aku menjadi sakit-sakitan. Hampir setiap minggu dalam sebulan, pasti saja aku selalu berobat ke dokter atau bahkan sampai di rawat di rumah sakit. Lama-kelamaan terungkaplah bahwa aku mengidap penyakit amandel, yaitu peradangan pada dua kelenjar yang ada di tenggorokan. 

Jika dibiarkan amandel itu akan terus membengkak di dalam tenggorokan ku, akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan operasi pada saat itu. Orang tua ku sempat mengkhawatirkan kondisi ku saat akan melakukan operasi, karena untuk anak seusia ku yang masih kelas 1 SD melakukan operasi adalah hal yang dianggap menakutkan. Bagaimana tidak, pisau-pisau bedah itu akan membelek melukai tenggorokan ku. Bisa kalian bayangkan bagaimana perasaan orang tua ku saat itu. Tetapi demi kesembuhan anak kesayangannya, apapun pasti dilakukan.

Oh iya, ada cerita lucu yang harus ku ceritakan kepada kalian dan cerita ini akan selalu ku ingat sampai kapan pun. Begini, saat-saat menegangkan saat aku akan melakukan operasi pada siang itu,  di salah satu rumah sakit terbesar di kota Bandung yang tidak perlu kusebutkan namanya. Kata ibuku, ketika aku sudah berganti pakaian menjadi baju hijau khas pasien bedah,  lalu aku memasuki ruangan bedah, aku menangis dengan sangat kencang. 

Tetapi yang ku tanyakan saat itu adalah "dokternya mana? Lala mau ketemu dokter." Terdengar aneh memang, disaat seharusnya dokter menjadi sosok yang menakutkan, tetapi saat itu, untukku, malah dokter adalah sosok yang paling ku cari untuk meminta perlindungan. Sesampainya sang dokter di ruangan bedah,  ia melihat aku menangis sangat keras, ia pun menggendong ku sambil berkata "mana anak dokter?  Sini dokter gendong, sayang." Tangisku mereda. Entah. Saat itu gendongan dokter seperti ajaib untuk menenangkan ku. Proses operasi memakan waktu sekitar 2 jam.

Aku yang masih setengah sadar karena efek obat bius masih ada dalam tubuhku, melihat ibuku berderai air mata haru, di satu sisi ia tak tega melihat keadaanku pasca operasi yang menahan sakit yang amat sakit, tetapi disisi lain ia senang karena ia berharap setelah melakukan operasi ini, aku tidak akan lagi menjadi sakit-sakitan.

"Alhamdulillah operasinya berjalan lancar, hanya tinggal menunggu pasien siuman" kata dokter bedah yang menangani ku. Sepertinya kata-kata itu cukup menenangkan hati ayah dan ibuku yang saat itu sangat mengkhawatirkan keadaan ku.

Setelah obat bius mulai hilang dan aku sadar bahwa aku telah melakukan operasi pengangkatan amandel, ibuku menyapa ku dengan senyuman terbaiknya,  "eh sayang, anak mama udah bangun, minum dulu ya". Aku yang saat itu merasakan seperti ada benang yang menyangkut di tenggorokan ku, menolak untuk memasukan sesuatu (makanan/minuman) ke dalam kerongkongan ku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun