Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Akrasia: Pengkhianatan terhadap Diri dan Nalar Logis

27 Oktober 2019   17:28 Diperbarui: 27 Oktober 2019   17:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merokok merusak kondisi kesehatan. Tapi, peduli amat? Art by Sumit Yoga.

Manusia memang pada dasarnya suka masalah. Tak ada masalah pun akan berujung lahirnya masalah. Tidak perlu jauh mencari masalah apalagi membuat masalah dengan orang lain, sebenarnya, kita pun senang memberi masalah diri kita sendiri. 

Sokrates pernah mengajukan soalan ini untuk didiskusikan. Dia mengetengahkan sebuah kondisi; jika kita telah mengetahui suatu putusan yang terbaik untuk sebuah keadaan, mengapa kita justru melakukan yang sebaliknya?

Kita menganggap beberapa kasus yang sebenarnya kita pahami betul konsekuensi negatifnya. Merokok merusak sistem pernapasan, pengelolaan sampah yang tidak bertanggungjawab berujung rusaknya lingkungan, hingga bekerja sampai stres lalu menggunakan uang hasil kerja itu untuk menghilangkan stres adalah hal yang konyol merupakan beberapa dari sekian hal yang sering kita angkat sebagai tantangan kepada diri kita sendiri baik secara sadar atau tidak.

Sokrates menduga bahwa kita tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang kita tahu dan paham bahwa hal itu buruk bagi diri kita sendiri. Kegelisahannya yang diangkat oleh Platon dalam dialog Protagoras itu menurutnya sama sekali tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kondisi yang disebut Akrasia ini tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang sehat nalarnya. 

Sokrates memandang hal itu dengan sederhana, kalau kita tahu sesuatu itu merusak tentu kita akan menghindari hal itu dengan mudah. Nah, justru inilah masalahnya.

Kita adalah makhluk dengan ego dan sikap ketidakpedulian yang rumit. Perokok tidak bisa berhenti begitu saja bahkan ketika merokok sudah membahayakan kesehatan fisiknya. Demikian juga tukang selingkuh dan koruptor yang sama-sama menjual kehormatan serta loyalitasnya untuk kenikmatan sementara tidak dapat serta merta menghentikan kebiasaannya. Sokrates mungkin memaklumi kondisi itu akibat imbalan (reward) yang melampaui kontrol diri.

Fokus terhadap imbalanlah yang bertanggungjawab mengalihkan perhatian diri dalam mengontrol tindakannya. Ungkapan "Saya tahu itu buruk namun pengalaman kenikmatan perbuatan itu mengalahkan kontrol diri saya" menjadi simpulan dari kebiasaan yang terus saja menagih diri untuk mengulang. Namun ada satu hal yang keliru dari argumen Sokrates tersebut. Bagi George Singleton, Sokrates terjerumus pada asumsi fatal yang menganggap bahwa kebaikan dan kenikmatan merupakan dua hal yang setimpal.

Konsep Akrasia menjadi rentan jika ternyata seseorang terpenjara oleh rasa bersalah karena menuruti kemauan diri untuk tunduk pada kenikmatan. Seorang remaja gadis yang mengorbankan belanja pangan dan uang kuliahnya untuk kosmetik agar terlihat cantik bisa saja merasa bersalah pada orang tua yang mengirim uang belanja atau sebab lainnya namun ia sendiri tidak punya pilihan lain. Sebab masyarakat sudah memaksakan konsep kecantikan lewat topeng kosmetik dan itu diamini oleh lembaga lainnya. Sebagai contoh Dosen yang menuntut remaja gadis itu berhias dengan alasan agar tampak lebih rapi dan sedap dipandang.

Imbalan berupa konsep kewajaran yang banyak dipaksakan publik kepada individu dapat melanggengkan konsep Akrasia. Menjadi individu yang diterima oleh lingkungan sekitarnya merupakan salah satu pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Namun jika berdampak buruk dan menggerogoti nilai kesadaran personal, apakah mesti tetap dipertahankan? Ini banyak kita dapati di masyarakat dan media. Termasuk merokok merupakan bagian konsep maskulinitas yang berjalin paut dengan jiwa petualang dan bebas yang selalu didengungkan komunitas remaja pria dan iklan rokok.

Dalam kondisi akut, seperti pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang, tentu justifikasi imbalan kenikmatan sebagai sesuatu yang "baik" sangatlah tidak relevan. Mengapa demikian? Sebab dalam kondisi sakau, kesadaran subjek diambil alih oleh substansi kimiawi di luar kendali penuhnya. Otak dan kesadaran tidak lagi menjadi kemudi tubuh fisik sehingga bagaimana mungkin hal itu dianggap baik sedangkan konsep kebaikan itu sendiri tidak mampu terpikirkan oleh subjek yang kehilangan kesadarannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun