Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konflik Relasi Pakar-Awam: Ulasan Interpretatif atas Matinya Kepakaran oleh Tom Nichols (Bagian Satu)

10 September 2019   19:21 Diperbarui: 10 September 2019   19:44 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pakar kehilangan relevansi otoritatifnya dalam mengemukakan pendapat. Padahal, masukan mereka merupakan sumbangan yang sangat dibutuhkan untuk mengawasi informasi liar yang beredar. Sehingga, mestinya para pakar tidak membatasi diri di ruang publik.

Campur tangan para pakar akan sangat berguna menyisihkan para pemberi informasi palsu. Masyarakat juga akan terbiasa untuk mengenali dan mengandalkan keahlian berdasarkan perpaduan pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan lembaga otoritas atau rekan sejawat yang dimiliki oleh para ahli di bidangnya masing-masing. Selain itu, masyarakat mesti memahami bahwa ahli di suatu bidang tidak serta merta ahli di bidang yang lain.

Hanya karena seorang pakar yang ahli dan punya nama besar di bidang Fisika tidak berarti bahwa dia mumpuni di bidang Politik. Demikian juga pakar di bidang Filsafat tidak menjamin dirinya menjadi seorang Pemimpin yang baik pada sebuah negara. Para pakar juga bukanlah figur yang sempurna. 

Mereka adalah orang-orang yang sering bertemu dan melakukan kesalahan. Namun, mereka mampu belajar banyak dari kesalahan itu serta mengembangkan diri lalu membangun metode agar orang lain terhindar dari kesalahan yang sama.

Komunitas dan lembaga penjamin standar kualitas kepakaran punya peran besar mengemban amanah kepercayaan publik. Evaluasi dan sertifikasi tetap dibutuhkan selama kedua hal itu tidak justru disalahgunakan untuk mengintervensi kreativitas dan pengembangan keilmuan. 

Yang paling penting, jangan sampai komunitas pakar atau lembaga penjamin mutu itu justru memperjualkan sertifikat sebab hal itu sama saja dengan memperjualbelikan harkat dan martabat profesi.

Kepakaran bukanlah gelar yang diperoleh dengan mudah. Bertahun-tahun dilalui untuk menempuh pendidikan dan melakukan riset mesti dihadapi dengan sabar. Belum lagi harga yang mesti dibayar untuk meminimalisir potensi kesalahan dan kerusakan yang dampaknya bisa fatal. Tidak semua orang bisa menjadi pakar karena tidak semua oramg mau mendedikasikan hidupnya untuk mendalami keahlian tertentu.

Tidak semua orang diberi anugerah untuk bisa menguasai suatu bidang. Mereka yang berbakat atau punya pengalaman mungkin percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya namun pakar yang sebenarnya mampu memahami secara mendalam bagaimana suatu kemampuan diterapkan pada konteks atau situasi tertentu karena ia punya setumpuk data dan informasi yang sebelumnya didokumentasikan terkait hal tersebut. Pakar tidak hanya menguasai namun juga mampu menjabarkan dan mengembangkan keahliannya.

Nah, narasi itu yang tidak dipahami dengan baik oleh industri media, jurnalisme, dan hiburan terutama berupa infotainment atau pewartaan. Umumnya industri di bidang itu hanya mengandalkan popularitas dan mengabaikan sisi edukatifnya. 

Orang yang banyak membaca dan mengerti banyak hal dari bahan bacaan itu tidak serta merta dapat dianggap sebagai pakar. Demikian pula ajang pencarian bakat seperti audisi penyanyi atau koki akan mampu secara instan melahirkan pakar di bidang-bidang itu.

Tidak semua narasumber yang wajahnya populer di berbagai media adalah pakar yang sebenarnya. Terlebih jika ia membahas banyak hal dan lintas bidang. Perlu dipahami bahwa figur-figur populer itu hanya menyampaikan opini atau pandangannya sebatas apa yang ia ketahui dan pahami. Itu saja. Tidak berarti apa yang disampaikannya benar dan mesti kita dengarkan apalagi kita percayai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun