Walau sedekade berlalu
Telah kita lalui dengan sabar
Prihatin dan kusyu dalam ibadah mesra
Yang sehat dan terencana
Pegang kataku
Janjiku
Aku tak pernah akan meninggalkanmu
Walau bumi belah tujuh
Dan bulan retak dua puluh sembilan
Cermin lemariku remuk cemburu bahkan,
Bila bayangan yang ditangkap tunggal
Hanya wajahku
Tanpa wajahmu
Tapi tangis bayi
Yang kita nanti
Tak kunjung pecah
Merobek kelambu langit
Selimut penantian panjang
Penuh peluh
Keringat doa,
Semoga semesta pencipta
Menciptakan keriuhan hari
Hari kita dengan celoteh
Lucu anak di beranda
Kamar hati
Kita
Tapi kereta waktu sudah berjalan
Begitu jauh
Melesat meninggalkan stasiun
Demi stasiun kesabaran,
Haruskah sejarah genetik ku
Tumpas disini,
Sedang sejarah dua jiwa ini tak bisa diurai lagi
Terlanjur berpilin
Berkelindan menjadi satu jiwa besar
Separuh jiwamu
Aku
Separuh jiwaku
Kamu
Dik,
Kira - kira berapa lama
Ikhtiar luhur bersama ini
Berakhir
Lalu pemenang utamanya
Adalah kesejatian asmara
Walau nir keturunan
Dik,
Tak ada ruang dihatiku
Untuk mendua rasa
Membelah hatiku
Untukmu
Dan  untuknya,
Calon ibu anak-anakku  ?
(Tak sepatah kata pun
Terlontar dari bibir indahmu
Hanya tangis
Hanya tangis,
Menghujani pipi putihmu
Membadai
Membadai
Perang batinmu,
Air matamu
Bergulung gulung
Menganak sungai)
Dik
Apakah ijinmu
Untuk menikah lagi
Harus kubayar dengan ruh
Sebatang nyawaku
(Hanya anggukan  kepala tipis
Nyaris tak terlihat
Rambut indah basahmu
Berayun, lalu bibir bawahmu
Kau gigit
Kau  gigit
Menahan gejolak
Sampai ada merah darahnya disana)
Maafkan aku
Dik
Aku bisa apa
Aku cuma debu
Dipermainkan alun badai takdir penjuru