Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Meski Tertinggal Kereta Renjana

16 Januari 2022   15:25 Diperbarui: 16 Januari 2022   15:40 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duhai, betapa setiap waktu seperti membawa gelombang yang saban menghantam karang. Tak hancur tapi mengikis dalam-dalam, hingga meluap dan menuruti ketiadaan. Kembali lagi dan lagi, hingga berhari-hari. Tetap saja segala kasih menjadi alfa. Seperti pecahan kaca mengoyak luka, semakin luka.  Apalah arti senja, bila titik-titik itu menjadi air yang menguras di mata. Bahkan malam berganti pagi, ia mengurai menjadi sungai, di tepian waktu kerinduan. Ah, bebal sekali menelaah kisah, meski sudah basah, tetap saja rindu itu bersisian di jiwa, hingga raga terasa membengkak, perih semakin menyesak.

Menggenggam janjimu seperti meraup air laut di atas karang. Sudahlah tak dapat, dihantam ombak hingga memental terdesak. Sedu sedan semakin pedih, mengiris segala ketakberdayaan yang memuak. Ombak menjepit, hati menjerit. Perih. Kau, pergi dengan janji tak pasti, hingga hari berganti bulan, tahun, dan peradaban.

Cinta itu, apalah ia? Aku terdesak. Di dada ia menekuk ribuan kehendak. Padahal, jendela yang kubuka sedemikian rupa, ada ribuan wajah bersahaja. Tetap saja, aku tertinggal kereta renjana. 

Lambaian tangan menampar wajah yang letih, tertatih. Haruskah pedih ini semakin pedih hingga membuka pintu cinta seperti cinta yang pernah kau titah? Aku semakin berdarah. Bahkan ombak telah menguasai karang, aku mengerang. Terkapar tak karuan.

"Oh, penguasa alam, izinkan aku, menguasai diri, hilanglah derita karena cinta" jerit ini masih saja tetap dihantam ombak, resonansinya tak karuan.

Seorang yang entah dari mana datangnya, menggamit jemari tangan kananku. Menggenggam dengan erat. Diam. Air mata yang jatuh tak henti, seketika memutus. Terhenti.

"Siapa Kau?" ku tatap wajahnya, bercahaya. Ia masih memandang ke arah yang sama seperti pandanganku sebelumnya. Mengarang di matahari senja yang hampir tenggelam.

"Aku adalah rindumu, sabarlah. Doa-doa itu, tak boleh patah. Esok-esok ia berubah menjadi kekasih yang penuh gairah, dengan aroma surga. Mendampingimu kelak hingga ke surga, selamanya. Janganlah berpatah, janganlah berpatah" Senyummu melonggarkan derita yang sarat duka.

(untuk para sahabat yang pernah patah, dan sedang menunggu kekasih, sabarlah!)

Kisaran, 16 Januari 2021

SG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun