Mohon tunggu...
Azka Ghaisanf
Azka Ghaisanf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

FOOTBALL IS MY LIFE

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Shaleh Sedikit Dianggap Ustadz?

1 Desember 2024   00:50 Diperbarui: 1 Desember 2024   07:46 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada zaman sekarang, sering kali kita melihat orang yang memberi gelar ustadz kepada seseorang hanya berdasarkan bahwa orang itu mampu berbicara mengenai islam dan sering pegi ke masjid. Atau bahkan kerap kita jumpai orang yang mengklaim dirinya sendiri sebagai ustadz hanya berdasarkan dirinya hafal beberapa hadist. Jika hal tersebut terus terjadi tentu akan menodai gelar sesungguhnya ustadz itu sendiri. Akan tetapi sebenarnya secara bahasa, apa kata "ustadz" itu sendiri? Apakah ada kriteria khusus untuk mendapatkan gelar ustadz?  

Banyak  dari kita mengira bahwa kata "ustadz" merupakan kata yang berasal dari bahasa arab seperti istilah dalam islam lainnya. Akan tetapi jika kita telusuri lebih jauh, kata tersebut bukanlah suku kata yang berasal dari bahasa arab, baik itu secara bahasa maupun secara makna. Kata ustadz merupakan serapan kata dari bahasa Persia, yaitu "istad" yang berarti pengajar, tuan atau orang tua.

Seperti yang kita lihat dari arti kata tersebut, istilah ustadz merujuk kepada orang yang memberi pengajaran atau pemahamannya mengenai hal yang dikuasainya baik dibidang agama maupun non-agama. Di Negara Arab sekalipun gelar ustadz tidak diberikan kepada sembarang orang, mereka yang merupakan pakar dan ahli dibidang tertentulah yang mampu diberi gelar ustadz seperti dosen atau ahli akademis.

Sedangkan menurut KBBI sendiri ustadz berarti guru besar dan dimaknai sebagai guru agama. Dalam beberapa pengertian yang sudah dipaparkan, kita dapat menarik kesimpulan bahwa gelar ustadz bukanlah gelar sembarangan yang mampu kita berikan kepada orang yang hanya rajin ibadah dan hafal beberapa hadis yang bahkan ia sendiri tidak memahami betul hadis tersebut.


Lantas mengapa banyak orang yang sembarangan memberi gelar ustadz? Tampaknya fenomena ini berkaitan dengan sifat kritis terhadap agama. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa bahasan mengenai agama adalah hal yang tabu. Padahal kritis terhadap agama adalah hal yang diperlukan karena berkaitan dengan perkembangan zaman. Islam harusnya menjadi agama yang fleksibel untuk menghadapi tantangan perkembangan zaman. Jika hal tersebut terus terjadi maka masyarakat akan menerima mentah-mentah apa yang dikatakan oleh ustadz tadi.
Bisa kita bayangkan jika masyarakat terus mendefinisikan ustadz seperti diawal, maka banyak sekali pemahaman-pemahaman lampau yang seharusnya diperbaharui dicerna oleh masyarakat awam. Contohnya seperti Hadist riwayat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, dalam hadist tersebut disebutkan bahwa bermain catur itu hukumnya haram dikarenakan bemain catur dapat membuang-buang waktu berjam-jam hingga pemain dapat melupakan waktu shalat. Jika kita telusuri sejarahnya lebih jauh, hal tersebut dikarenakan peraturan permainan catur masa lampau berbeda dengan peraturan catur masa sekarang. Peraturan catur masa lampau itu tidak ada peraturan seri, sehingga pemain bisa bermain catur berjam-jam hingga salah satu pemain keluar menjadi pemenang. Maka wajar saja jika pada masa itu catur diharamkan. Akan tetapi peraturan catur masa sekarang berbeda, terdapat sistem seri dalam permainan itu, sehingga hukum haram permainan catur dapat ditinjau lebih lanjut.
Contoh lainnya seperti hukum memiliki maksimal 4 istri dalam islam. Untuk memahami pembahasan ini kita perlu menelusuri sejarah bangsa arab badui. Pada masa itu ketika islam belum turun kepada bangsa arab, suku-suku arab badui mempunyai tradisi memiliki istri yang jumlahnya tidak terbatas. Jumlah istri tersebut sangat bervariasi bahkan ada yang mencapai ratusan tergantung seberapa berpengaruh atau kuatnya suku tersebut. Bahkan ketika ketua suku meninggal, istri-istri nya akan diwariskan kepada anaknya sendiri kecuali ibu kandungnya. Tampaknya hal tersebutlah yang melatar belakangi turunnya hukum tersebut. Oleh karena itu relevansi hukum tersebut perlu ditelaah lebih jauh di masa modern ini mengingat kerap kali kita temui banyak sekali orang yang menjadikan hukum tersebut sebagai alat legitimasi bagi nafsu birahi nya sendiri.
Tampaknya kita sering kali luput oleh persoalan-persoalan mendasar seperti ini.

 Dan pada akhirnya kitalah selaku bagian dari masyarakat yang harus berperan dalam mengambil perubahan untuk kepentingan bersama, memahami hakikat dari gelar ustadz itu sendiri. Kita tidak bisa mengandalkan pemerintah untuk membuat regulasi mengenai gelar ustad itu sendiri. Dan kita juga tidak bisa mengandalkan ormas-ormas keislaman untuk bertindak, biarlah mereka disibukkan oleh urusan Pertambangan yang menjadi mainan baru mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun