Mohon tunggu...
Muhamad AzizWijaya
Muhamad AzizWijaya Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa DIII Akuntansi Politeknik Keuangan Negara STAN

stratosphere

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masalah Pedestrian sebagai Penyediaan Barang Publik

23 Januari 2020   01:42 Diperbarui: 23 Januari 2020   01:40 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jagad media massa belakangan ini ramai dengan pemberitaan mengenai fasilitas pedestrian di ibu kota. Hal itu disebabkan oleh rencana Gubernur DKI Jakarta yang akan membagi trotoar untuk pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL) dalam proyek pelebaran dan revitalisasi trotoar di 31 ruas jalanan ibukota. Pejalan kaki menganggap rencana tersebut akan mengurangi hak mereka, bahkan merusak ketertiban dan keindahan kota. Hal senada juga disampaikan oleh Koalisi Pejalan Kaki, mereka menilai Anies tak transparan terkait revitalisasi trotoar.

Jika pelebaran trotoar yang ditaksir menelan anggaran sebesar Rp 1,1 triliun itu juga mengakomodasi untuk PKL, mereka bakal langsung menentang proyek tersebut. Kesemrawutan trotoar berisi PKL disebut sebagai bukti nyata, bahwa regulasi apapun akan sulit menertibkan para pelapak jalanan.

Para penentang wacana ini mendasarkan argumentasi mereka pada UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan, bahwa pejalan kaki berhak atas fasilitas trotoar. Mereka juga mengutip putusan Mahkamah Agung yang membatalkan pasal 25 ayat (1) dalam Perda 8/2007 tentang ketertiban umum.

Namun apabila merujuk kepada pengalaman di berbagai kota di dunia, PKL juga disebut berhak memanfaatkan ruang kota. Sebagai contoh salah satunya adalah kota New York,AS. Pedagang disana biasa menggunakan food truck untuk menjajakan dagangannya. Pada jam makan siang, food truck  berjejer rapi disamping trotoar, para pekerja kantoran dan pejalan kaki bisa bebas memilih makan siang mereka dengan mudah. Pemerintah disana sangat serius menangani persoalan PKL di negaranya.

Harus ada persyaratan-persyaratan khusus untuk bisa berjualan di pinggiran jalan raya, dan waktu untuk mereka berjualan juga dibatasi. Dampaknya, antara pejalan kaki dan PKL pun sama-sama diuntungkan. Hal serupa juga terdapat di Paris, Perancis. Hanya mereka yang memenuhi standar kebersihan dan kesehatan yang ditentukkan pemerintah saja yang mendapat izin berdagang di trotoar. Jadi kesan kumuh dan semrawut tidak terlihat di jalanan kota paris, meskipu terdapat pedangang didalamnya.

Hal tersebut sekiranya menjadi dasar rencana keterkaitan PKL dalam revitalisasi dan pelebaran trotoar. Menurut Anies, trotoar bisa menjadi multifungsi, artinya bisa memfasilitasi banyak hal, bukan hanya untuk pejalan kaki saja, melainkan di setiap lokasi trotoar akan dibuatkan dengan fungsi yang berbeda sesuai dengan kondisinya, seperti halnya di luar negeri. Beliau juga mendasarkan wacananya pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 3/2014 pasal 13.

Dalam beleid itu menyebutkan jaringan pejalan kaki dapat digunakan untuk kegiatan usaha kecil formal. Laporan peraturan menteri itu rinci menyebut syarat kegiatan usaha kecil formal atau warung makan di trotoar. Syaratnya antara lain, lapak PKL dan bangunan harus berjarak 1,5 sampai 2,5 meter. Perbandingan lebar ruang dagang dan akses pejalan kaki juga harus 1:1.5 . 

Ditegaskan juga oleh  Kepala Dinas Bina Marga, ia menegaskan dalam penataan dan revitalisasi ini keberadaan PKL tidak boleh mengokupasi hak pejalan kaki. Maka, bila lebar trotoar hanya sekitar 1,5 meter, tidak mungkin dibiarkan PKL merampas trotoar, karena trotoar dengan lebar 1,5 meter sudah menjadi hak pejalan kaki dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun termasuk PKL.

Yang menjadi tanda tanya besar, siapkah semua pihak setuju dengan regulasi tersebut? Baik dari si pedagang dan pejalan kaki yang menggunakan trotoar. Mengingat mental masyarakat Indonesia yang masih banyak beranggapan 'peraturan dibuat hanya untuk dilanggar'.

Bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan hukum di Indonesia dirasa belum begitu 'keras' dan ketat. Dibuktikkan dengan kejadian beberapa bulan belakangan yang diberitakan bahwa PKL kembali menguasai di pedestrian di kawasan Sudirman, Jakarta, dan membuat keadaan menjadi semrawut.

Padahal penertiban Satpol PP rutin diadakan tiap bulan. Namun apa yang terjadi? Mereka selalu kembali memenuhi pedestrian, seakan-akan mereka tidak kapok. Yang dikhawatirkan apabila rencana  tersebut diterapkan, nantinya PKL liar yang tidak mempunyai izin akan datang. Dan disisi lain, masyarakat dan pengguna pedestrian juga pesimis terkait peraturan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun