Mohon tunggu...
A. Aziz  Perwiratama
A. Aziz Perwiratama Mohon Tunggu... Freelancer - Ronin

Nama saya adalah Abdul Aziz Perwiratama. Saya dilahirkan pada 20 Mei 1994 di sebuah kampung yang berada di perbukitan Menoreh, Yogyakarta. Saya merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Dari masa kecil hinggan sekarang, saya menetap dan tinggal di tempat lahir saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ternyata Rumah Juga Bisa Ber-Urbanisasi

19 Juni 2020   16:23 Diperbarui: 19 Juni 2020   16:28 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudah aku jimpit mas bro!"

Seseorang berbicara dengan nada keras di luar rumah. Dari suaranya sudah saya duga bahwa dia adalah Kang Maryo, lelaki paruh baya yang kebetulan satu regu ronda dengan saya.

Ini baru pukul 20.00, namun dia sudah selesai keliling RT ambil jimpitan. Sekilas tampak kelewat rajin bapak satu ini. Padahal saya tahu alasannya agar dia bisa main kartu lebih cepat.

Namun percuma usahanya. Jam segini masih terlalu sore untuk pemain-pemain kartu dari RT lain. Tentu belum ada umat yang hadir di basecamp ronda yang kita sebut gardu (pos ronda).

"Sekarang ini, di kampung kita sudah tidak ada lagi rumah yang masih dipagar kayu ya mas bro! Cletuk Kang Maryo." Padahal kalau dulu, waktu saya masih kecil, hampir setiap rumah yang ada di kampung kita ini berpagar kayu, kalau tidak ya bambu.

Mendengar pernyataan dari bapak-bapak gaul satu ini, langsung terbesit pertanyaan dibenak saya. Jadi hal seperti ini patut kita syukuri atau malah suatu hal yang memprihatinkan?

Bangunan rumah yang dimaksut oleh Kang Maryo adalah rumah kampung. Yaitu, Rumah yang mempunyai ciri khas empat pilar bangunannya berada di tengah, dengan dinding pagar yang terbuat dari kayu atau bisa juga dari bambu.

Saat ini, rumah-rumah kampung yang berkesan sederhana ini sudah sangat jarang bisa kita jumpai di kampung. Entah karena gaya hidup, atau karena ekonomi masyarakat sekarang yang dirasa mampu, banyak dari rumah-rumah kampung yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan rumah modern yang berdinding bata. Dari yang pernah saya dengar, bahwa bangunan rumah modern lebih kokoh dibandingkan dengan bangunan rumah kampung, katanya.  

Mau itu bangunan rumah kampung atau rumah modern, keduanya sama-sama warisan budaya. Yang membedakannya, rumah kampung adalah budaya dari nenek moyang kita sendiri, sedangkan rumah modern merupakan budaya yang dibawa oleh orang asing.

Tempat tinggal saya berada di daerah perbukitan, dimana pergerakan tanah merupakan hal yang wajar bagi setiap orang yang menetap dan tinggal di sini. Oleh karena itu, bukan lagi kejadian luar biasa jika menemui kasus kerusakan rumah, seperti dinding rumah yang retak, lantai keramik pecah, hingga rumah yang hampir roboh. Iya begitulah beberapa kasus kerusakan bangunan rumah yang diakibatkan oleh pergerakan tanah.

Namun, kerusakan seperti itu tidak dialami bangunan rumah kampung. Bagaimana bisa, dinding pagar yang notabennya terbuat dari kayu atau bambu mengalami keretakan? Mungkin bisa, tetapi jika dicermati persentasenya sangatlah kecil, karena saya sendiri pun belum pernah menjumpainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun