Mohon tunggu...
Abdul Aziz
Abdul Aziz Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Kenali saya, lalu temukan Dia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Insan, Iman, dan Tabir Kehidupan

29 September 2020   18:21 Diperbarui: 30 September 2020   05:44 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Teka-teki tentang hakikat manusia semakin sulit dijawab dan akan tetap merupakan misteri yang tak akan terpecahkan secara pasti dan memadai. Yang pasti, ketika terlahir ke dunia, manusia sudah memiliki bawaan berupa jasmani, akal budi, serta hati nuraninya. Melalui instrumen sejak lahir itu, manusia memiliki kemampuan arketip untuk bertanya, berpikir, dan bereksplorasi untuk memperluas dunianya.

Manusia adalah makhluk yang suka mendongeng, membangun cerita yang kemudian menjadi mitos yang dijaga dan diyakini kebenarannya, meskipun secara faktual-ilmiah sulit untuk diverifikasi,dan bahkan bertentangan.

Manusia senang pada cerita-cerita mitos yang bercampur dengan keyakinan keagamaan. Oleh karena itu, manusia selalu dihadapkan pada pertanyaan fundamental tentang dirinya, mengapa saya ada di dunia ini? Dari mana saya berasal? Dan kemana saya nanti setelah mati?. Dan seterusnya, manusia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan fundamental tersebut. Namun, memahami bahwa petualangan di bawah langit itu penuh teka-teki dan tidak tahu batas akhirnya. Maka manusia mencari pijakan yang kukuh dan melompat pada iman dan agama. Di sana, manusia merasa nyaman karena iman dan agama memberikan ketenangan dan ketentraman.

Namun, persoalannya, saat ini agama tengah menghadapi dua perlakuan berbeda yang masing-masing mengkhawatirkan bagi agama itu sendiri. Di satu sisi, sebagian menganggap agama tidak lagi relevan dengan rasionalitas zaman, karena apa yang ditawarkan oleh agama sudah dapat dipenuhi dengan oleh sains, kapitalisme, dan otoritas politik. Di sisi lain, sebagian yang lainnya menjalankan agama dengan fanatisme berlebihan hingga agama menjelma menjadi doktrin yang dibarengi dengan sikap kaku (taklid buta) terhadap berbagai perubahan dunia, keras terhadap kehadiran (paham) orang lain, dan cenderung tertutup.

Kehadiran manusia merupakan situasi keterlemperan, karena manusia tidak pernah memilih untuk dilahirkan dan harus menerima dengan serta-merta kelahirannya. Maka, hidup manusia dibarengi dengan rasa takut sekaligus hasrat untuk mengetahui misteri tentang asal-usul serta tujuan kehadirannya. Oleh karena itu, keterlemparan tersebut dapat pula disebut sebagai penziarahan tanpa batas, sebab manusia bukan hanya pasif menerimanya, melainkan menjalaninya dengan aktif dan kreatif, serta berusaha menemukan sebuah pijakan sebagai panduan bagi penziarahan mereka.

Manusia terlempar bukan ke dalam ruang hampa, melainkan selalu disambut oleh tradisi orangtua, keluarga, dan lingkungannnya. Setiap bayi yang lahir dijemput dan tumbuh dalam asuhan tradisi, yang menyediakannya perlindungan, memberikannya identitas, serta membentuk persepsi, cara berpikir, dan berprilaku. Keterlemparan manusia dalam tradisi membawa konsekuensi kesejarahan sekaligus kebebasan. Manusia menyejarah karena eksistensinya terealisasi dalam sejarah yang di wariskan oleh dan dalam tradisi.

Bahkan, keberimanan seseorang juga tidak lepas dari bentukan sejarah atau tradisi.
Keterlemparan manusia ke dunia dianugerahi kualitas bawaan berupa akal-budi. Berkat anugerah tersebut, manusia memiliki kemampuan arketip untuk berpikir, bertanya, menafsirkan, dan memaknai semua realitas. Hakikat eksistensialnya menjadi sumber rasa ingin tahu manusia yang paling awal, misalnya tentang siapa dirinya, yang tak pernah habis dan tuntas untuk dikaji.

Keterlemparan manusia ke dunia membuatnya mengalami amnesia eksistensial, termasuk mengenai keimanan yang sudah pernah ia ikrarkan sejak di alam ruh (QS. Al-A'raf [7]:172). Untuk mengingatkan kembali manusia, Tuhan mengutus para nabi sebagai juru pengingat dan pembimbing dalam menapaki jalan kembali kepada Tuhan. Selain mengajarkan nilai-nilai agama dan spiritualitas, wahyu yang disampaikan mereka merupakan pendorong bangkitnya peradaban manusia.

Selain sebagai sumber agama dan spiritualitas, Iman juga meninggalkan dan mengukir jejak dalam sejarah. Iman memiliki efek yang dahsyat bagi pembentukan pribadi seseorang pada ranah budaya. Iman adalah sisi dalam kebudayaan (Inner culture), yang menentukan ekspresinya(outer culture). Dalam agama, kombinasi antara inner culture dan outer culture antara lain terwujud pada ibadah-ibadah ritual, rumah ibadah, monumen suci, serta berbagai pranat dan lembaga sosial keagamaan.

Agama pernah diramalkan akan segera ditinggalkan oleh pemeluknya. Namun, ramalan tersebut tak terbukti. Pengikut agama terus lahir dan dipeluk dengan semakin erat. Islam termasuk agama yang umatnya terus tumbuh dan semakin erat memegang keyakinannya. Namun, kehadiran agama yang semakin semarak di ruang publik tidak bisa dijadikan kebanggan, tetapi kekhawatiran. Ada beberapa alasan untuk khawatir. Pertama, kekuatan massa agama khususnya umat Islam seringkali hanya diperebutkan sebagai instrumen dan kekuatan politik. Kedua, wujud dari kegagapan beradaptasi dengan modernitas. Ketiga, paham keislaman umat Islam cendrung sempit, yakni fiqh oriented. Ketiga poin itu merupakan gambaran umum umat Islam kontemporer. Mereka kesulitan beradaptasi dengan modernitas, tak berdaya secara ekonomi, ilmu pengetehuan dan teknologi, dan secara umum tidak mampu berkontribusi pada peradaban.

Agama mempunyai potensi pembebasan bagi manusia. Namun, keserakahan kapitalisme untuk terus mengakumulasi keuntungan menjatuhkan manusia menjadi budak uang dan materi. Kapitalisme hanya memandang manusia melalui dimensi materinya saja, sementara dimensi ketuhanan dalam diri manusia dianggap tidak relevan. Memang benar manusia mempunyai dimensi materi sebagai konsekuensi primordialnya. Namun, dimensi ketuhanan dalam diri manusia mengandung arti bahwa manusia membawa potensi untuk beriman. Hal tersebut sekaligus membawa konsekuensi bahwa keimanan itu melampaui agama. Dimensi ketuhanan bersifat azali dan universal, sementara agama merupakan batasan-batasan yang diciptakan manusia untuk menjalani hidupnya yang tersituasikan oleh sejarah yang khas dan konkret.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun