Mohon tunggu...
Syifa Azizah
Syifa Azizah Mohon Tunggu... Lainnya - A fresh graduate from Communication major.

A human who (sometimes) write.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jiwa Indonesia Jaya

15 Februari 2021   12:42 Diperbarui: 15 Februari 2021   12:48 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara yang kaya. Kaya wilayah, kaya populasi, dan tentunya kaya budaya. Ribuan suku berjejer dari Sabang hingga Merauke, melahirkan keragaman yang saling bersatu padu. Masyarakatnya sepakat mengatasnamakan diri sebagai Indonesia meski identitas lokal yang jauh berbeda. Saling menyematkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Perwujudan semboyan tersebut dapat dilihat di komponen pemersatu bangsa: bahasa nasional. Terlepas dari latar belakang yang beragam, setiap orang diwajibkan untuk mahir berbahasa Indonesia. Interaksi dan integrasi rakyat akan lebih mudah terjadi jika saling memahami satu sama lain. Bhinneka Tunggal Ika yang selalu dielu-elukan menjadi tak hanya sebatas teori, namun telah mendarah daging di pribadi bangsa.

Pertanyaannya, sampai kapan rakyat bisa seperti itu?

Anak-anak negeri kini lebih senang menghitung one two three ketimbang satu dua tiga. Mereka lebih familiar dengan lagu Baby Shark, bukannya lagu Gundul Pacul yang dulu sering menyapa telinga. Buku-buku berbahasa Inggris mulai mengalahkan popularitas kisah-kisah legenda Nusantara.

Hasilnya, banyak sekali anak-anak fasih berbahasa Inggris walau terbata-bata berbahasa Indonesia. Fenomena di atas dianggap lazim di masyarakat, terutama pada kelompok golongan atas. Jika diteruskan, bukannya tidak mungkin generasi mendatang akan melunturkan semangat berbahasa nasionalnya. Sumpah Pemuda yang berbunyi: "Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia." hanya akan menjadi teori belaka.

Miris membayangkan generasi Indonesia yang kehilangan jati dirinya. Populasi keempat terbesar di dunia tidak menjamin bahasa ini akan terus dilestarikan, pun bersanding dengan bahasa-bahasa ternama di dunia lainnya seperti bahasa Mandarin, Jerman, Jepang hingga Perancis. Padahal, bahasa Indonesia merupakan simbol kebanggaan warga negaranya---bahwa kita semua bersatu atas nama bangsa Indonesia.

Lalu, kenapa hal itu bisa terjadi?

Fakta bahwa minimnya konten bermutu di televisi Indonesia juga telah menjadi rahasia umum. Kartun-kartun dan acara edukatif untuk anak kalah pamor akibat menjamurnya tontonan orang dewasa. Nuansa TV Indonesia kini lebih identik dengan tayangan komedi, sinetron, atau acara gosip tak bermutu. Apakah pantas jika anak dicekoki tayangan seperti itu?

Tentu tidak.

Maka, situs asinglah pelariannya.

Membiarkan televisi lokal semakin hancur dalam kegilaan rating masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun