Seolah-olah pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak adalah pekerjaan perempuan. Padahal seharusnya dipahami sebagai tugas bersama. Saling bantu, peduli dan berbagi satu sama lain.
Bukan berarti perempuan tukang mengeluh, ingin dimanja, diistimewakan atau ngadi-adi (istilah Jawa yang sangat sulit dibahasakan dalam bahasa lain yang pas). Pada prinsipnya, mereka hanya ingin ada yang peduli, "Karena wanita ingin dimengerti", begitu kata Ada Band.
Berkat kuasa Allah, perempuan diberi kemampuan melakukan banyak hal dalam satu waktu. Sayapun terbiasa, menyetrika pakaian bersebelahan dengan ruang komputer, sehingga bisa sambil ngeprint, di mana ruang itu juga digunakan si kecil yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar membutuhkan sang ibu untuk memandu menyelesaikan tugasnya.Â
Pada lain kesempatan, saya bisa memutar cucian di mesin cuci sambil memasak dan sesekali juga mencuci perabotan makan. Orang menyebutnya multitasking, kemampuan mengerjakan banyak hal sekaligus.Â
Keahlian ini sepertinya mustahil dilakukan oleh para ayah. Karena menurut ilmu kejiwaan, laki-laki memang diciptakan untuk fokus pada satu aktifitas.Â
Tuntas, baru ganti yang lain. Tidak bisa di-sambi-sambi. Meski sebenarnya adegan nyambi-nyambi seperti yang dilakukan kaum hawa merupakan episode berbahaya, karena harus berbagi fokus.Â
Demikian pula dalam kepengasuhan anak. Meskipun merupakan tugas bersama, namun keberadaan perempuan sebagai sosok ibu mendapatkan posisi istimewa di hati anak.Â
Sesibuk apapun seorang perempuan, keberadaannya tetaplah menjadi "sesuatu" bagi si buah hati. Entahlah, akupun yang sudah beranak pinak, rasanya damai bila bersama ibu. Apalagi anak-anakku yang masih butuh dekapan kasih sayang ibunya.
Mengapa ibu? Bukan ayah. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, mengapa anak cenderung lebih dekat dengan ibu.
Pertama, ibu lebih sabar jika dibandingkan dengan ayah dalam hal mendidik anak