Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Petani

29 Juni 2020   00:37 Diperbarui: 29 Juni 2020   00:28 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau ada yang bertanya siapa orang yang paling tekun dan sabar, jawabku adalah petani. Bagaimana tidak? Petani itu tidak bosan atau lelah menanam, merawat dengan penuh kesabaran, meski di bawah terik matahari sambil merawat harapan akan kemurahan Allah, Sang Pemelihara. Ya, apapun hasilnya, mereka tidak akan berhenti menanam, menanam apa bisa mereka tanam. Hebat bukan?

Aku berani jamin kalau jawabanku itu bisa dipertanggungjawabkan. Aku dibesarkan di lingkungan petani. Ibuku seorang petani. Meski bapakku seorang guru, namun bapak juga bertani. Nenekku yang tinggal serumah dengan kami, juga seorang petani.

Hampir seluruh warga dusunku adalah petani. Meskipun seperti bapakku, ada yang menjadi guru, pegawai bahkan pedagang, mereka tetap saja bertani. Sisi depan kampungku adalah bentangan persawahan dan ladang dengan aneka tanaman. Pemandangan yang sungguh indah dan menyejukkan.

Dunia pertanian sangat akrab denganku. Meski tidak selincah dan semahir kakakku, membantu mereka di sawah adalah bagian dari pengalaman indah masa kecil dan masa mudaku. Membantu menanam bibit cabe, tomat, kacang panjang, kacang tanah, jagung dan aneka tanaman yang lain bukan sesuatu yang asing bagiku. Bahkan tangan mengobok-obok pupuk kandang untuk ditanami cabe atau tomat itu hal biasa bagiku. 

Merawat tanaman sampai memetik hasil pertanian tentu juga merupakan sesuatu yang indah dan menyenangkan. Mengirim mereka makanan, kemudian makan bersama di gubug yang berdiri di sudut sawah adalah kenikmatan luar biasa yang selalu dinantikan.

Petani juga pejuang tangguh yang pantang menyerah. Meski harga di pasaran tidak sesuai yang diharapkan, mereka tidak berhenti untuk menanam. Menanam dan terus menanam. Apapun hasilnya, bagi mereka itu bagian dari rezeki yang dititipkan Allah kepada mereka. Mereka juga tidak pelit untuk berbagi.

Sepanjang perjalanan pulang dari sawah, berbagi dengan para tetangga yang ditemuinya adalah kesempatan yang tidak akan mereka lewatkan. Tidak sedikitpun kata 'eman-eman' atau sayang terbersit di benak mereka saat berbagi. Yang ada hanyalah perasaan puas dan senang bisa berbagi.

Apa mereka tidak rugi? Mungkin di mata kita terlihat rugi, tapi tidak bagi mereka. Justru yang terjadi adalah 'mereka merasa rugi jika tidak berbagi'. Subhanallah luar biasa.

Kini aku kembali diingatkan pada kenangan indah masa kecilku. Aku ditugaskan di daerah lereng Gunung Merapi. Di mana kultur masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan kampungku. Bahkan mereka terbilang lebih gigih dan jauh lebih fokus di bidang pertanian.

Kawasan yang dulu aku bayangkan sebagai 'negeri di awan', 'negeri antah berantah' yang sepertinya aku tak mungkin menjangkaunya. Kawasan rawan bencana, yang tidak ada lagi kampung di atasnya. Ternyata kini aku rutin mengunjungi kawasan itu. Silaturahim, mengaji dan berbagi bersama.  

Mendampingi petani di kawasan lereng Merapi, memberikan banyak pelajaran bagiku. Bagaimana mereka begitu gigih, sabar dan tetap menanam apa yang bisa mereka tanam. Memang cukup memilukan saat mereka berkisah tentang anjloknya harga hasil pertanian. Harga jual yang sangat tidak sebanding dengan tenaga dan biaya yang telah mereka keluarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun