Mohon tunggu...
Azismm
Azismm Mohon Tunggu... Freelancer - pelajar

Mari Berproses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kita Pulang, Nak

13 Oktober 2019   01:43 Diperbarui: 13 Oktober 2019   01:46 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

malam ini adalah malam yang paling panjang dan kelam selama hidupnya untuk hendar, ia harus menerima bahwa dirinya dicerai paksa oleh sukma, istrinya sendiri karena hendar tak kunjung bekerja dan menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan sang istri. 

Manakala istrinya harus berlomba merias wajah dan gaya setiap harinya, keadaan hendar tak mendukung sukma untuk berkompetisi dengan tetangga. Hendar tak bisa mengelak dari semua cemoohan sukma terhadapnya, hendar selalu kalah bersaing dalam perihal mendapatkan kerja di ibukota. 

Bahkan menjadi seorang pemulung, hendar harus bertarung dengan pemulung lainnya, dan sukma tak menerima alasan apapun, hendar dan rudi diusir dari rumahnya, sukma berencana mencari pria lain yang lebih mapan dan bisa merias dirinya.

 Hendar masih berjalan menyusuri trotoar jalanan kota sambil menggendong ransel besar sekaligus rudi buah hatinya yang masih terlelap dipelukannya dari semenjak ia dirumah. 

Hendar tak berhenti mengusap punggung anaknya, Hendar berjalan menuju terminal bis yang lumayan jauh jika ia tempuh dengan berjalan, ditambah beban yang dipikul, lebih dikedalaman hatinya. Hendar dan rudi pulang ke kampung halamannya.

 Malam semakin larut, temaram lampu kota melahirkan puisi paling tragis bagi hendar. Ia terduduk di sebuah kios tutup di dalam pasar terminal, mencoba merogoh kocek, memastikan uang yang ada disakunya cukup untuk membawa mereka berdua kembali ke kedamaian desa di bagian selatan pulau jawa. hendar tak mau mengganggu tidur rudi karena ia takut, bagaimana menjelaskan kepada buah hatinya, bahwa sang ibu mengusirnya, hendar belum siap mengatakan itu. Yap, uang cukup dan ada lebih untuk membeli makan untuk rudi sebelum berangkat. 

Hendar membuka ranselnya, mengeluarkan sarung, dan menyelimuti anaknya yang telah dipindahkan tidurnya dengan berbantal ransel. Hendar mencium keningnya setelah membaringkan rudi dan memberikan bisikan ditelinga anak lelakinya dengan lembut "sabar nak, kamu lahir untuk menjadi seorang yang tangguh, kelak kau mengerti dengan apa yang kita rasakan saat ini, tapi tidak hari ini" hendar mengusap air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya yang hampir jatuh, takut nanti anaknya terbangun. Ia bergegas mencari makan.

 Tak jauh dari tempat rudi tidur, hendar menemukan sebuah warung makan yang masih buka dinihari. Ia memesan sebuah nasi bungkus dengan lauk; tempe dan telur dadar yang masih hangat. 

Serta dua plastik teh tawar hangat. Hendar tak melepaskan pandangannya ke arah rudi yang masih terlelap dikejauhan, terkecuali ketika sang penjaga warung bertanya. "mau kemana bang, masih subuh gini udah diterminal aja?" Tanya ibu warung sambil mengambil lauk pauknya ke atas tumpukan nasi. "mau ke pangandaran bu pulang kampung" ia tak juga melepaskan pandangannya dari rudi. "bis ke sana jam berapa ya bu?" belum sempat ibu menjawab hendar langsung tergesa-gesa mengambil koceh untuk membayar karena rudi terbangun "berapa bu?" ia tetap tak melepaskan pandangannya dari anaknya "duapuluh ribu bang, ada apa panik gitu?" ia bergegas memberikan uang dan mengambil pesananya kemudian berlari tanpa menjawab pertanyaan penjaga warung makan tersebut "lah, ngapa tu bocah, buruburu banget..., bang ini kembaliannya" namun hendar telah menjauh.

 "pak, ini dimana? Kita mau kemana?" Tanya rudi sambil memeluk lututnya sambil menyelimuti tubuhnya dengan sarung. Hendar telah datang cepat sesaat setelah rudi terbangun, ia datang dan seketika duduk dan memeluk anaknya "wedeh jagoan bapak bangun, kita pulang kampung ke rumah nenek, sekarang duduk. Kita makan dulu nak. Ayo duduk" ia mendudukan anaknya. Hendar belum tahu harus mengatakan apalagi kepada rudi, ia terpaksa membicarakan kebohongan yang menenangkan hati sibuah hati.

 Sampai suapan terakhir mendarat di mulut rudi, selalu di iringi dengan tanya perihal sosok mama yang tak hadir disekitarnya. Hendar semakin tak kuasa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dari anaknya yang tak seharusnya dijawab dengan kebohongan seperti; "mama kemana? Ko mama ga ikut?" sangat sederhana. Tapi itu sangat pedih didengarnya. Anak seusia rudi yang baru saja menginjak sekolah dasar, Harus terseret pada kenyataan bahwa sang ibu tak lagi membutuhkannya. Ditambah itu semua karena ulah nasib bapaknya sendiri.

 Berulangkali hendar mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menceritakan tujuannya, yakni kampung halaman sang bapak. Dimana orang-orang disana tidak segalanya tentang uang, ada hal yang lebih bijaksana daripada hidup dipenjara kota. "rudi nanti disana kita main di kebun nenek, disana kamu bisa main apa aja, dengan siapa aja, kamu bisa memanjat pohon setinggi mungkin dan melihat seluruh atap-atap rumah mengintip dibalik dedaunan karena pohon-pohon disana sangat tinggi, rudi pasti seneng" sambil memberikan teh hangat untuk rudi. Rudi mengambil gelas tersebut "waah iya pak rudi seneng, nanti rudi mau bikin ayunan sama mama ya pak" dengan tatapan senang menatap bapaknya, hendar semakin tidak kuat mendengar itu semua hampir ia menitikan air matanya, tapi yang bisa dilakukan hanya tersenyum, mengacak-ngacak rambut seorang pria kecil yang tangguh. "yaudah tunggu sebentar bapak beli tiket bisnya dulu, rudi tunggu disini, jangan kemana-mana oke, bapak ga jauh ko, tuh disana!" sambil menunjuk sebuah kios di sebrang pandangannya.

 "pak tiket pangandaran pagi ini dua berapa?" sambil melihat-lihat jadwal pemberangkatan di meja penjaga "duaratus ribu" bernada dingin sambil mencatat-catat di sebuah buku yang tidak tau itu apa karena tulisannya lebih rumit daripada resep obat dari dokter yang hanya diketahui oleh apoteker, bedanya tulisan tersebut sepertinya hanya penjaga tiket dan tuhan yang tahu. Hendar segera merogoh koceknya "seratus, duapuluh" hendar panik melipir dari hadapan penjaga tiket. Ia memeriksa seluruh kantongnya. Sesekali ia memandangi rudi yang sedang memperhatikan bapaknya. Hendar hanya bisa tersenyum dan memberi tanda semuanya aman dengan mengacungkan ibu jarinya. Ia berlari menuju rudi "tunggu sebentar ya nak, kita siap-siap berangkat bapak ke warung dulu. Ia berlari ke warung. "bu tadi uang saya ada kembalian ga?" sang ibu sedang sibuk memasak "mana ada kembalian kan pas duapuluh ribu". Hendar kembali berlari menuju penjaga tiket dan berdiam diri sejenak. Dalam batinnya dia harus pulang saat ini juga, karena takut anaknya bertanya-tanya.

 Hendar masih mematung di hadapan penjaga tiket, matanya mulai menggenang, hampir jatuh "woy, jadi gak nih. Orang lain mau beli juga" sudah ada orang yang mengantri di belakang hendar "jadi pak, satu". Ia perlahan melangkah mendekati meja, mata hendar mulai berlapis air yang hampir jatuh. Ia memegang satu tiket bis dan kembali mendekati rudi "siap-siap nak kita pulang" sambil mengecup kening rudi. "bapak ke kamar mandi dulu ya" sambil berjalan pelan. 

 Hendar kembali menjinjing roti dan sebuah minuman. "rudi ini minum obat dulu ya, nanti kamu pusing dijalan, soalnya jalannya belok-belok kaya ular" sambil menyodorkan obat dan minum. "ko pait pak" setelah meminum obat tersebut "iya pait, makanya bapak bawa roti, nih" rudi memakan rotinya. Hendar hanya bisa memelas menerima keadaan ini. Ia hanya mendapat satu tiket bis sedang mereka berdua. Ia hanya melamun melihat bis-bis yang mulai berlalu-lalang tatkala matahari mengintip sayu dibalik atap terminal. "pak kita naik bis yang mana?" sambil memeluk kaki bapaknya. "nanti kita naik bis yang paling bagus nak" sambil mengacak-ngacak rambutnya. 

 "pak aku boleh tidur gak, nanti bangunin rudi ya kalo bisnya udah dateng" sambil duduk dilahunan bapaknya sambil memeluk sang bapak. Air mata hendar menetes juga, tapi mengalir deras dilubuk hatinya. "kita pulang sayang" hendar menggendong rudi ke kamar mandi dan menjinjing tasnya, hendar merencanakan sesuatu yang sangat beresiko tetapi itu perlu.

 "pangandaran, pangandaran!" kondektur berteriak, hendar berjalan mendekati bis perlahan sambil menggendong tasnya. "tasnya dibagasi aja bang" tegas kondektur sambil membuka bagasi "engga bang saya bawa aja" sambil melangkah masuk ke arah bis "mana cukup bego, udah dibagasi sini saya bawa" hendar menghindar. "gausah bang biar saya yang simpen ke bagasi". Hendar menangis di dalam bis, dikursi paling pojok. Dia memikirkan rudi yang ia tinggal di bagasi bis, didalam tas ranselnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun