Mohon tunggu...
Azimah Subagijo
Azimah Subagijo Mohon Tunggu... -

penyuluh literasi media dan penyadaran bahaya pornografi. Komisioner KPI Pusat 2010-2013 dan 2013-2016

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Frekuensi Milik Siapa?

2 Oktober 2016   21:15 Diperbarui: 2 Oktober 2016   21:21 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pernahkah Anda sebagai penonton geram melihat isi siaran televisi? Mulai dari gossip artis, film sadis atau horor hingga pornografi, berita sidang kopi sianida yang bagai cerita detektif hingga motivator yang tak akui anaknya, atau sinetron genk motor sampai manusia jadi-jadian, atau tukang bubur yang lebih banyak saling mencelanya daripada cerita tentang naik haji. Sayangnya, banyak yang meski geram, tapi kemudian memilih pasrah. Paling tinggi yang dilakukan hanyalah mematikan pesawat televisi. Padahal memperoleh siaran televisi yang bermutu adalah hak yang penting kita perjuangkan.

                Semua itu dilandasi karena banyak dari masyarakat yang tidak tahu bahwa televisi yang bersiaran lebih dari 20 jam sehari ini, sesungguhnya bukanlah murni milik para pengusaha besar Jakarta. Hal ini karena untuk memancarluaskan program-program yang diproduksi/disiarkannya, televisi menggunakan frekuensi. Frekuensi ini menurut Undang-Undang Penyiaran 32 tahun 2002 adalah milik negara dan sebesar-besar dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat. Status frekuensi ini bagi pengelola televisi sesungguhnya hanyalah barang pinjaman. Negara meminjamkan kepada pengelola radio yang memenuhi kriteria selama 5 tahun, sedangkan televisi selama 10 tahun.

                Lazimnya barang pinjaman, tentunya peminjam haruslah bersikap amanah. Menunjukan bahwa ia mampu menjaga dan merawat barang yang dipinjamnya beserta segala persyaratannya. Dalam konteks penyiaran, bentuk kontrak pinjam-meminjam ini dinamakan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Negara melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mengeluarkan IPP setelah melalui serangkaian proses evaluasi dan penilaian terhadap kalayakan berkas-berkas berdasarkan regulasi yang ada dan juga ketersediaan frekuensi. Termasuk penilaian terhadap komitmen pengelola televisi untuk menyiarkan program siaran yang bermutu kepada masyarakat.

                Setidaknya, Undang-Undang Penyiaran memberikan batasan penyiaran haruslah memenuhi 6 fungsi yaitu sebagai media pendidikan, informasi, hiburan yang sehat, perekat dan kontrol sosial, kebudayaan, dan ekonomi. Sayangnya dari 6 fungsi itu, yang terasa dominan hadir di layar kaca kita adalah fungsi ekonomi dan hiburan yang belum tentu sehat. Sederhana saja pembuktiannya. Banyaknya iklan niaga yang muncul di sela-sela acara televisi bahkan kadang mengganggu kenyamanan penonton, dengan berbagai bentuk: spot, produk placement, super impose,hinggablocking time. Ditambah lagi, bila ada program televisi yang diprotes buruk namun tetap saja dipertahankan, pengelola dengan mudahnya memberi alasan: rattingnya tinggi.

                Untuk itu, marilah sejak sekarang kita menjadi penonton televisi yang peduli. Doronglah pengelola televisi untuk menyiarkan program yang bermutu: bermuatan pendidikan, informasi, hiduran yang sehat, perekat dan kontrol sosial, dan juga lebih berbudaya. Kita dapat sampaikan  masukan tentang kebutuhan kita akan muatan televisi yang lebih baik, langsung kepada pihak pengelola televisi maupun kepada KPI. Apalagi berbagai sarana komunikasi untuk menyampaikan aspirasi ini pun kini sudah tersedia: surat, faximili, telepon, SMS, E-mail, twitter, Facebook, hingga  instagram. Bisa perorangan, maupun kelompok atau atas nama lembaga. Dan yakinlah, jika kita bersungguh-sungguh, maka perubahan itu mungkin terjadi.

Berdasarkan pengalaman penulis 2 periode sebagai komisioner KPI Pusat, tak sedikit program-program televisi tak bermutu yang akhirnya diganti/diperbaiki karena protes dari masyarakat. Beberapa program tersebut antaralain: Lativi– SmackDown (Aksi Kekerasan); RCTI-Silet (Ekspos Hiperbolis Ledakan Gunung Merapi); Tukang Bubur Naik Haji (Ucapan Kasar), Kuis Kebangsaan (tidak netral); Trans7 – Empat Mata (muatan menjijikan), OVJ (Patung Ganesha); TV One – ILC (Diskriminasi Bonek); SCTV - Islam KTP (Ucapan Kasar); Haji Medit (Pelecehan Agama); Metro TV – Headline News (Opini Perekrutan Teroris Muda Mengarah Ke Rohis); Trans TV: Primitive Runaway (Pelecehan Suku); Super Trap (Melanggar Kesopanan); Mata Lelaki (eskploitasi seks), YKS (melecehkan budayawan Betawi), Rumpi No Secret (mengumbar privasi seseorang); ANTV – Pesbuker (canda tepung; Pelecehan Agama); TVRI – Indonesia Sehat (eskploitasi seks). Jadi, ayo jangan ragu lagi. Frekuensi untuk kita, mari jadi pemirsa yang peduli!***

*Sudah di terbitkan pertama kali di sini

** Anggota KPI Pusat periode 2010-2013 dan 2013-2016/ Ketua Perhimpunan Msyarakat Tolak Pornografi/ Pegiat Literasi Media

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun