Mohon tunggu...
azas tigor nainggolan
azas tigor nainggolan Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat dan Analis Kebijakan Transportasi

Aktivis Perkotaan yang advokat dan Analis Kebijakan Transportasi

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Tidak Perlu Menaikkan Tarif KRL Jabodetabek

17 Januari 2022   14:31 Diperbarui: 19 Januari 2022   05:02 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor. (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Dikabarkan ada rencana pengelola Kereta Komuter Listrik (KRL) Jabodetabek yakni PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI) hendak menaikkan tarif 25 km pertama dari Rp 3.000 menjadi Rp 5.000.

Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak mempersoalkan kenaikan tersebut karena pihaknya juga sudah mendapatkan data dari survei yaitu jumlah pengguna kereta didominasi jarak tempuh di bawah 25 km.

Diungkapkan oleh Tulus bahwa secara total jumlah pengguna dengan jarak tempuh di bawah 25 km mencapai 84 persen dari total responden.

Jika memang dilihat dari angka memang kecil, kenaikan Rp 2.000 rupiah. Tetapi dari sisi biaya transportasi, kenaikan itu menjadi lain.

Saya sih tidak setuju jika tarif KRL Jabodetabek dinaikan jadi Rp 5.000 per 25 Km. Patokannya jangan hanya survey APT dan WPT saja. Seharusnya juga adalah melihat juga akses pengguna KRL pada layanan KRL. 

Apalagi dikatakan oleh Tulus Abadi bahwa mayoritas pengguna KRL sekitar 84 persen adalah pengguna di bawah 25 Km. Artinya para pengguna mayoritas ini akan membayar lebih, tidak sesuai penggunaan dan mensubsidi PT KCI. Padahal PT KCI sendiri sudah ditopang oleh subsidi uang rakyat dalam APBN. Menjadi aneh karena rakyat sudah dua memberi topangan subsidi pada PT KCI. Jangan lupa bahwa subsidi APBN pada PT KCI adalah uang rakyat dan uang pengguna KRL Jabodetabek itu sendiri

Kalau mau menaikkan tarif jangan hanya menggantung pada memperhitungkan Ability To Pay (ATP) atau kemauan membayar dan Willingness To Pay (WTP) atau kemampuan membayar pengguna.

Sebaiknya juga menghitung biaya transportasi dan akses para pengguna keluarkan pada layanan KRL Jabodetabek itu sendiri.

Coba perhatikan saksama, sesekali di stasiun KRL, dimana para pengguna mengakses layanan KRL dengan menggunakan layanan transportasi online lebih dulu. 

Begitu pula saat turun, para pengguna KRL kembali menggunakan transportasi online untuk mencapai tempat tujuan akhir perjalanan. Tarif sekali perjalanan dengan ojek online misalnya Rp 10.000 dan pulangnya pun butuh membayar kembali Rp 10.000. Begitu pula ketika hendak pulang pengguna KRL akan melakukan perjalanan yang sama saat berangkat.

Jika situasi perjalanannya seperti itu biaya transportasi pengguna KRL untuk bekerja sehari-hari sekitar:

1. Biaya KRL: 25 hari X Rp 5.000 x 2= Rp 125.000.
2. Biaya Transportasi Online: 25 hari x Rp 10.000 x 2= Rp 500.000.

Jadi total biaya per bulan transportasi para pekerja pengguna KRL adalah sebesar Rp 625.000. Sementara upah atau gaji yang diterima para pekerja yang menggunakan KRL di Jabodetabek sekitar Rp 4.000.000 setiap bulan. 

Jika dihitung maka ada sekitar 15, 6 persen dari upah digunakan untuk biaya bertransportasi dengan menggunakan layanan angkutan umum KRL setiap bulannya.

Sementara di pekerja harus lagi mengeluarkan biaya untuk keperluan hidup hariannya yang lain dari upah yang terbatas.

Saat masa sulit seperti sekarang yang dibutuhkan adalah bertahan hidup secara ekonomi dan pemerintah seharusnya meringankan beban biaya hidup rakyatnya.

Jika dinaikan maka akan terjadi penambahan biaya yang dikeluarkan sebagai pengeluaran para pengguna KRL.

Untuk meringankan beban biaya hidup dan bertransportasi para pekerja yang menggunakan layanan angkutan umum seperti KRL adalah bukan dengan menaikkan tarif KRL-nya.

Membantu warga yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah membangun akses yang baik terhadap layanan angkutan umum dengan membangun integrasi layanan angkutan dengan benar dan akses. Warga dalam bertransportasi, jika layanan angkutan umum massalnya sudah maka biaya bertransportasi lebih murah dan rasional. 

Untuk membantu warga juga tidak perlu menambah subsidi pada pengelola layanan angkutan umum massal. Sebagai pengelola layanan angkutan umum massal, mereka seharusnya bisa mengembangkan pendapatan dari bisnis di sekitar bisnis layanan yang utama.

Bisnis itu misalnya pada pemanfaatan usaha di stasiun atau KRLnya itu sendiri. Jadi untuk saat sekarang tidak perlu menaikkan tarif KRL Jabodetabek dan tidak perlu menambah subsidi pada layanan KRL atau angkutan umum massal lainnya tetapi yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki akses, membangun integrasi layanan angkutan umum massa dengan benar serta pengembangan bisnis yang profesional para pengelolanya.

***

Jakarta, 17 Januari 2022

Azas Tigor Nainggolan - Ketua FAKTA Jakarta dan Analis Kebijakan Transportasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun