Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Bapak Ingin Bunuh Diri?

29 Maret 2023   19:59 Diperbarui: 30 Maret 2023   19:30 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : unsplash.com

Dua hari lalu, ketika saya berkunjung ke rumah Bapak, saya merasa pilu.
Ibu bercerita, Bapak seringkali mengigau, menangis sendiri, bahkan yang paling membuat batin saya teriris adalah ketika Bapak sempat menyampaikan ingin bunuh diri.

Sudah empat tahun lamanya, Bapak sudah tidak bisa bekerja. Pandemi menutup usaha Om Nir, adik Bapak yang menawarkan jasa antar-jemput anak di sebuah sekolah, dan kesehatan Bapak berangsur-angsur memburuk. Tidak kuat berdiri lama. Ibuklah yang kemudian menggantikan Bapak bekerja. Saya jadi mengerti betul, Bapak mungkin punya perasaan: merasa bahwa kehidupan manusia seperti dirinya tidak lagi memiliki makna. Hanya dikarenakan tidak berguna, tidak produktif, tidak lagi menghasilkan, maka saya kira itu adalah sebuah hal yang wajar dirasakan setiap manusia yang sudah tidak di masa produktif lagi kata orang-orang. Tapi, tunggu dulu, pikiran ini agaknya kurang tepat.

Semenjak modernisme dalam pemikiran barat kemudian digadang sebagai gerakan modernisasi yang disebut sebagai: Perubahan besar-besaran dalam setiap elemen sosial-budaya, juga dalam hal ini ada andil besar bagaimana materialisme yang mendasari bagaimana dunia berjalan, menjadikan manusia semakin bergantung pada angka-angka. Kondisi tersebut memang telah dikondisikan sedemikian rupa, sehingga manusia hanya menerjemahkan sesuatu dengan angka. Dengan ukuran. Dengan pola, dengan struktur.

saya ingat sebuah penggalan cerita dari novel Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupry, menggambarkan bagaimana manusia jaman modern memandang bagus tidak suatu hal. Tolak ukurnya adalah angka. Di satu cerita, digambarkan bila manusia dewasa  menceritakan ke orang lain, bagaimana sebuah rumah bagus atau tidak, Orang-orang modern tidak akan mengerti bila kata-katanya kira-kira semacam ini : saya punya rumah dengan taman dan bunga-bunga di halamannya.

Orang modern hanya mengerti bila dikatakan pada mereka ucapan semacam ini 

"saya punya rumah seharga 5M"

Barulah orang-orang  akan mengukur nilai 5M sebagai tolak ukur rumah bagus, lalu mereka akan berkata : "wah pasti rumahmu itu bagus ya"

Fenomena inilah yang kita hadapi di hari ini. Ukuran kemajuan, kemakmuran, kebahagiaan, dihitung dengan angka-angka.

Kita sudah tidak asing dengan PDB sebagai nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu menjadi tolak ukur. PDB salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional dari sisi angka-angka, sedemikian rupa menjadi  patokan sebuah negara punya kemajuan.

Kekeringan ini terasa semakin menjadi-jadi, sebab manusia kemudian juga diperlakukan layaknya barang, dihitung, diukur berdasarkan angka-angka; seberapa besar angka-angka IPK dalam selembar kertas, besarnya pendapatan dalam slip gaji, seberapa besar rekening dalam tabungan, seberapa banyak aset-aset materi; rumah-tanah, kendaraan dan nilai-nilai investasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun