Saya tidak tahu betul perasaan Juragan. Tapi, bila saya berada di posisinya, sebagai pengusaha, bertahan di tiga tahun belakang memang tak mudah. Hingga ia harus merelakan tanah pribadi, mobil pribadi atau aset-aset lainnya dijual atau digadaikan demi melunasi segala tetek bengek yang dibutuhkan hanya supaya usahanya tetap bertahan.Â
Ketika saya berusaha meraih sloki, dan menuangkan kopi, Juragan kembali membuka pembicaraan.
"Lu benar. Selama ini gue yang terlalu berambisi besar."
"Berambisi besar itu bagus, kan, Gan?"Â
"Iya, tapi harusnya kita menyesuaikan dengan kemampuan kita juga, barangkali memang kita tidak harus mengikuti cara orang lain. Kita harus ciptakan cara kita sendiri."
Ia kemudian melanjutkan unek-uneknya, mengeluhkan betapa besar biaya yang harus dibayar untuk mempekerjakan orang-orang yang hanya tahu buang uang. Ia sudah merasa tua, dan masih saja ikut terlibat perkara remeh remeh yang harusnya bisa otomatis dibereskan tanpa harus ia ikut campur dalam segalanya.
"Bos-bos itu kan gue bayar buat mikir, masa gue juga harus mikir. Kacau. Kek gapunya tanggung jawab. Kesana-kemari pake mobil operasional, cuma ngurus perkara remeh aja nggak becus."
Meski saya akui bahwa saya pernah memikirkan hal yang sama jauh-jauh sebelum saya mendengar kata Juragan. Sudah sembilan tahun saya ada di sini. Suka-duka telah saya rasakan. Juga kecewa bila apa yang saya pikirkan tiap diajak miting, seringkali begitu saja diabaikan. Saya setidaknya sudah sedikit-banyak mengetahui seluk-beluk permasalahan.Â
Dan benar saja, permasalahan itu, begitu-begitu saja tanpa ada perubahan yang berarti. Saya tahu benar apa yang mesti dilakukan, tapi, apakah karena pendidikan saya tidak setinggi orang-orang tukang omong besar itu? Yang hasilnya tahun demi tahun nihil. Kalaulah hanya perkara gelar, saya akan merebutnya beberapa semester lagi, dan  apakah dengan begitu apa yang saya pikirkan  akan didengar?
Tapi kini, rasanya sekeras apapun saya menginginkan merubah sesuatu hal di tempat ini, kini, saya tidak banyak mau tahu perkara-perkara orang -orang itu. Pikiran saya hanya memikirkan cara, bagaimana saya dapat menjual berkarung-karung biji kopi olahan itu. Bagaimana supaya kedai kopi ini makin banyak pengunjung. Supaya saya tidak merasa berdosa makan gaji buta. Lain tidak.Â
Lepas berbicara meluapkan segala unek-unek, Juragan pun pamit. Ia sempat juga mengucap terimakasih karena telah menemaninya berbicara sore itu, lantas bergegas membawa tas kulitnya, pergi keluar kedai, berlalu dengan mercy menterengnya.
____