Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Tersisa dari Keriuhan Belakangan Ini

29 Juli 2022   11:46 Diperbarui: 29 Juli 2022   12:16 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terlihat gadis muda mengenakan baju yu ken si may ketek berwarna putih, dengan lepis gombrangnya, berjalan dengan langkah gontai di sebuah trotoar pinggir jalan tempat biasanya  keramaian beberapa pekan ini terjadi. Pada wajahnya seakan tergurat kesedihan yang mendalam. Dalam hati barangkali ia tengah mengenang-ngenangkan kejadian, ketika aparat telah membubarkan kerumunan yang mereka telah buat, barangkali ia tengah berkeluh-kesah dalam hati serupa ini:

Kemana orang-orang pergi? Kemana semua hingar-bingar kemarin lalu itu?

Tak ada lagi orang-orang baur, melebur, menyaksikan komedi ini. Tak ada lagi bergonta-ganti remaja-remaji berpakaian eksentrik tampil, berlenggak-lenggok di sebuah zebra cross yang menjelma ketwolk. Sementara hampir kebanyakan orang yang melihat mereka pada layar ponsel mencerca, dengan berbagai macam kata; kampung, nyampah, kumuh, udik, norak, alay, jamet, dan lainnya. 

Bukankah kehadiran kami-kami ini menjadi sebuah katakanlah hiburan, yang anda-anda sekalian tertawakan bersama saban siang-sore-malam, dalam sebuah perbincangan, selepas rutinitas yang membelenggu anda-anda sekalian dalam ruang-ruang kantor, bagai robot, dan kalian akan begitu senangnya menjadikan kami-kami bahan tertawaan sambil menikmati kopi mahal di sebuah kafe.

Bukankah tiga tahun belakang sama-sama kita rasakan kekacau-balauan melanda, begitu banyaknya pengurangan tenaga kerja, sementara antrian pelamar kerja makin tak terbendung. Para pekerja seni tak dapat ruang untuk menggelar kegiatan di luar ruang. Sudah berapa tahun ini kita butuh hiburan.

 Berita-berita silih berganti hanya menambah-nambah beban pikiran, kenaikan bahan pangan, sumbangan untuk ibu kota negara, politikus yang makin kacau-balau tingkahnya. Oknum-oknum aparat juga ikut menambah ramai berita-berita setiap hari. 

Sementara bukankah anda-anda sekalian telah merasakan? Bagaimana susahnya hidup jaman sekarang? Beberapa negara sudah dinyatakan bangkrut. Di Srilanka perempuan tukar aset diri buat makan. Jualan saja sudah sebegini susahnya, hitung saja berapa kedai, toko, tempat usaha, di tempat anda  tinggal, kini telah tutup. Pemiliknya pulang kampung.  Atau berapa kos-kosan dan kontrakan dijual karena penghuninya sudah pada kabur, dan berbulan-bulan tiada lagi yang menghuni.

Apakah yang kami lakukan ini sebuah kejahatan hingga harus dibubarkan? Bukankah banyak usaha-usaha kecil dan  menengah dapat terbantu dengan kehadiran kami, setidaknya kami tidak pasang tarip tinggi hanya untuk endorsement sebuah brand. 

Katakanlah kami ini memang udik, kampung, miskin, atau, apalah. Apakah memang kekampungan, keudikan, kemiskinan, dan tampang kami tidak pantas mengusik kota dengan segala kemewahannya? Lalu apakah kota hanya milik orang-orang yang punya duit? Orang-orang berdandan necis, berdasi, orang yang mengaku terpelajar? 

Apakah hanya mereka-mereka yang punya duit dan salah satunya sempat membawakan duit sekoper kepada salah satu kawan kami itu, yang berhak memonopoli semua ketenaran dan keriuhan? Bukankah semua orang telah muak melihat tampang-tampang mereka di televisi, di sosial media, di mana-mana, cuma tampang yang itu-itu saja.  Setiap hari! Apa yang mereka sajikan? Sebuah kemiskinan. Bukankah ide kami kaya? Hingga apa yang kami lakukan bisa mencengangkan mata orang-orang, ya, meski hanya sejenak. Sekejap. Tapi itu lebih baik daripada mereka-mereka yang kaya itu tidak punya sesuatu yang disajikan selain apa yang mereka miliki dan dapat miliki dengan duit. 

Katakanlah ini adalah sebuah pemberontakan. Apa yang telah terjadi membuat banyak mata akhirnya terbuka, bahwa semua manusia memiliki kesempatan yang sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun