Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Tepi Sebuah Danau

21 Januari 2022   13:24 Diperbarui: 21 Januari 2022   13:29 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah untuk kali yang kesekian Senja utusan malam yang jalang itu menikam cahaya Mentari di langit, begitu pula yang terjadi lagi di ujung hari ini. Di antara batas terang dan gelap dengan penuh kehati-hatian mulanya Senja yang Jalang itu  mengendap-endap dari belakang, kemudian begitu cepat keluarlah seketika tangan-tangan busuknya yang penuh koreng dan kudis itu, merayap perlahan, memeluk bias-bias cahaya Mentari yang terang-benderang. 

Ribuan tangan-tangan penuh koreng dan kudis itu tak henti merayap, memegang belati-belati berwarna hitam. Begitulah, tangan-tangan itu kemudian terus menikam, mencoba meredupkan cahaya Mentari yang terang benderang. Ketika Mentari mulai menggeliat di ambang sekarat, lemah, tak berdaya, si jalang itu menyeringai, cahaya mentari meredup terus kian meredup. 

Dari bawah sini, dari tepi sebuah danau ini,  saya yang tadinya duduk tenang di  bebatuan di samping sebuah pohon, lekas bangkit karena melihat seringai dan bibir Senja yang Jalang bergincu merah serupa darah. Saya mulai meludah-ludah ke tanah ketika mulai nampak dari kegelapan, perlahan-lahan, remang wajahnya terlihat, begitu menjijikkan. Kulit wajahnya  bopeng-bopeng dan mengelupas. Sementara tangan-tangannya yang sama menjijikannya itu menikam belati, Mentari pun mulai mengerang. Singgasananya mulai diusik kelam.

Entah untuk kali yang kesekian pula  darah dari tubuh Mentari bertebaran di langit yang sebenarnya masih begitu terang. Saya berteriak-teriak kesetanan ketika kemudian semburat warna darah Mentari itu tampak menyembur di udara, merah bercampur ungu. Senja yang jalang di belakangnya mulai  menari. Masih dikenakannya selendang jingga kebesarannya, merayu orang-orang untuk menyaksikan pertunjukannya. 

Daun-daun pepohonan di sekitar danau mulai bergoyang mengikuti irama angin. Asap tebal kretek yang saya hisap mulai ikut pergi ke mana embusan angin pergi. Saya masih berdiri, menyaksikan orang-orang di sekitar,  beberapa orang tadinya asik lari-lari sore di jalan setapak di sekeliling danau, ada juga yang makan bakso dan jajanan lain, beberapa muda-mudi berpagutan di balik pohon, beberapa sepeda motor dan mobil berhenti di pinggir jalan di samping danau, pengendaranya juga ingin ikut melihat kejadian di langit sore itu. Sejenak seluruh aktivitas mereka terhenti. Kepala-kepala mereka mendongak ke atas, mata-mata mereka terlihat terbius oleh Senja yang jalang itu. Saya memperhatikan mata-mata yang kosong, dan mulai bertanya, bagaimana bisa mereka menikmati rupanya yang bopeng-bopeng dan mengelupas? Bagaimana mereka bisa menikmati pembunuhan berulang ini? Saya tidak mengerti.

"Hentikan, hentikan apa yang kau lakukan, Jalang!" Saya memekik. Tapi Senja yang Jalang itu seolah mencemooh saya, ditampakannya kembali seringai serta  tangan-tangannya makin lebih dalam menekan belati-belati hitam ke tubuh Mentari. Bahkan semua orang itu tidak mendengar atau tidak mau mendengar apa yang saya pekikkan. Seolah mereka terpaku di tempatnya masing-masing masih memandang peristiwa itu. Seolah waktu berhenti sejenak. Tapi kelam terus merayap sejengkal demi sejengkal. Orang-orang itu terdiam. Tak peduli mendengar erangan Mentari.  

Riuh orang-orang bersorak kegirangan ketika gelap benar-benar menguasai langit. Mereka semua bertepuk tangan dan beberapa juga ada yang berpelukan.  Saya keheranan dengan tingkah orang-orang itu. Seolah-olah mereka menyukai Mentari terbujur kaku diamuk kelam. Cahayanya benar hilang, lantas segera Petang datang menggantikan. 

Saya duduk dengan lesu kembali memandang permukaan air danau yang begitu tenang, yang sama kelamnya dengan warna langit.  Kembali saya mengisap kretek saya. Sambil menuliskan peristiwa ini dalam sebuah catatan kecil yang saya bawa dalam saku celana. Orang-orang kembali dalam aktivitasnya masing-masing. Seakan tidak ada yang terjadi. Seakan membiarkan begitu saja peristiwa pembunuhan itu. Begitulah, entah untuk kali yang kesekian, sekali lagi Mentari tiada berdaya melawan. 

Saya bangkit dan berjalan. Memandang sekeliling. Angin masih terus berhembus mengajak dedaunan menari, saya heran memandang  satu per satu wajah orang-orang yang saya lewati,  seakan terlihat begitu bahagia diantara remang cahaya lampu-lampu di sekitar yang mulai dinyalakan. Seolah-olah mereka semua merayakan kemenangan Malam yang Kelam.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun