Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Kisah Malam Minggu

25 November 2020   12:59 Diperbarui: 25 November 2020   13:03 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Alih-alih bercumbu di bangku bioskop seperti kawan-kawannya yang lain, malam minggu itu Pono mengajak Maryam menikmati tanggapan Wayang.

"Pertunjukannya  gratis, karena di kampung sebelah ada anak pejabat habis potong burung." Rayu Pono.

Tanggapan wayang itu digelar tentu sampai tujuh malam. Maklum perayaan sunat anak pejabat. Pono sudah menonton semua lakon enam malam sebelumnya, dan memang mengasyikkan. Kalau hanya melihat lakon dan jalan ceritanya, ia sudah sering, dan hampir hapal semua lakon-lakon itu. Jadi ia menikmati  waktu hanya untuk menggodai sinden-sinden, mengajaknya berkenalan dan meminta alamatnya serta. Ikut menari ketika sang pejabat yang punya hajat diminta turut serta menyenandungkan beberapa tembang, atau melihat dari dekat bagaimana gamelan-gamelan itu berbunyi dengan teratur tanpa orang yang dinamakan konduktor. Hanya Ki Dalang yang pegang peranan dan entah mengapa hanya dengan ketukan-ketukan, ia bisa mengatur segala yang ada, baik sinden, maupun gamelannya, itu yang membuatnya heran.

Maryam sendiri belum pernah menyaksikan tanggapan wayang seumur hidupnya, secara langsung maksudnya, kalau selama ini ia sekedar menikmati dari televisi atau gawai, itu tidak mungkin sebagus ketika menyaksikan secara langsung. Ia sudah membayangkan aura atau atmosfer magisnya. Pasti mistis. Ia sudah tidak sabar sedari ketika jumat malam, Pono memberitahunya akan mengajaknya ke pagelaran itu.

"Betapa bodoh, kenapa tak kamu ajak aku kemarin-kemarin juga, hah?"

"Paling-paling kamu akan tertidur."

Maryam sudah mempersiapkan keberangkatannya dari siang. Ia sengaja membeli sebuah kebaya untuk digunakannya malam nanti. Malam minggu itu pastilah akan abadi dalam ingatannya. Matanya tak kunjung abai dari jam dinding yang dilihatnya terus menerus. Waktu berlalu amat lambat tidak seperti biasanya dan ia menunggu dengan amat tak sabar. Detik-detik dilaluinya dengan rasa tersiksa.

Menunggu Pono datang tepat waktu seperti menanti matahari terbit dari barat. Malam ketika Pono datang menunggangi garudanya, Maryam membuka pintu balkon dengan segera, menyambutnya dengan kemarahan.  Itu asbab bedak dan lipstik yang sudah dipasangnya dari sore hampir luntur. Pono hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Darimana saja kamu?"

Pono tidak menjawab. Ia hanya tersenyum melihat riasan si gadis. Kebayanya juga cocok, Maryam nampak cantik sekali di matanya. Ia seperti Srikandi, begitu cantik, tapi mengerikan. Mataya menyala-nyala membara penuh dendam. Dan itu salah satu yang disukainya dari Maryam.

Maka berangkatlah keduanya menunggangi garuda, dipinjamnya dari Wisnu tadi siang, kata Pono, sehingga ia agak terlambat karena harus meminta ijin meminjam makhluk tunggangan sang dewa. Keduanya pun terbang, melayang ke kampung sebelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun