Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pono dan Sebuah Lapangan Bola

23 November 2020   14:50 Diperbarui: 23 November 2020   15:08 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lapangan bola luas itu kini sudah tinggal daerah kecil rawa-rawa tak terurus, semenjak banyak pemukiman baru dibangun. Di sana Pono biasa membenamkan diri beberapa minggu sekali, berteman ular-ular kecil dan beberapa serangga, jadi temannya bicara.

Rawa-rawa tak seberapa luas itu dikelilingi pagar-pagar beton tinggi, disana biasanya ia meneriaki orang-orang pemukiman baru yang sedang kelihatan menjemur pakaian di lantai atas rumahnya, dan Pono biasanya meneriaki mereka dan tertawa-tawa. Orang-orang komplek pemukiman baru biasa memanggilnya bocah gendeng. Karena bocah itu memang terlihat tidak waras. Menari-nari sambil mengalungkan ular di lehernya.

"Kalian akan dimusnahkan Syiwa suatu hari!!!"

Begitulah kemudian beberapa saat pasti datang petugas keamanan pemukiman dengan sepeda mahalnya mendatangi Pono, sementara ia akan memanjat tembok dan terbang pergi. Sepeda manapun takkan dapat mengejarnya.

Pono mengingat betul lapangan itu begitu luas puluhan tahun lalu. Sebelum penduduk-penduduk asli dipaksa menjual rumah dan tanah mereka dan pindah ke berbagai kawasan jauh dari pusat kota.

Maka ketika sempat ramai-ramai media mewartakan kehebohan ular-ular menghuni rumah-rumah mewah mereka, Pono dipaksa kepala desa ikut membantu menangkapi ular-ular tersebut. Dengan berat hati akhirnya ia juga turut membantu karena sebelumnya ia malah menikmati segala kehebohan itu.

"Itu kan ulah mereka sendiri menempati rumah-rumah ular cantik itu, juga makanannya  sekarang ada di loteng-loteng rumah mewah itu!"

Pono mengingat betul waktu kecil dulu setiap sore bermain bola, atau layangan, atau kejar-kejaran dan sebagainya di lapangan itu. Bersama kawan-kawannya yang kini satu per satu pergi, dan tidak tau berada di mana lagi. Keluarganya sendiri pun pindah ke seberang pemukiman baru itu. Hanya saja, ia masih sering ke sana. Di sanalah tempat menghabiskan masa kecilnya yang tidak akan bisa dilupakan seumur hidupnya. Bermain di kala panas atau hujan. Tak jadi soal tanahnya  kering ataupun berlumpur. Di tempat itulah tempatnya melupakan rasa lapar dan tugas-tugas sekolah. Di tempat itulah ia merasa bahagia. Meski kini yang dapat diajaknya bermain tinggal tersisa reptil dan serangga. Ia tak perduli. Ia tak bisa meninggalkan kenangan-kenangan itu.

Bau lumpur kala hujan, rekahan tanah kala kemarau, angin kering ataupun lembab, ilalang yang bergoyang, tawa bocah-bocah yang pecah, tak ada yang bisa menggantinya.

Maka ketika ada warta tentang air bah akan datang, ia malah merasa senang.

"Biar binasa mereka diamuk gelombang samudra." Ucapnya pada Maryam.

Maryam tak pernah menanggapi. Ia tahu betul jaman telah berganti dan semua tak bisa kembali lagi.

...

Cipayung, November 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun