Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penantian

22 November 2020   12:10 Diperbarui: 22 November 2020   12:22 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Perempuan itu tenang melangkah, menuju sebuah pohon besar di atas sebuah bukit dengan ranting-ranting kurusnya yang mencekam. Pada salah satunya tergantung sebuah ayunan dari ban bekas. Tempat ia biasa membunuh sepi. Sendiri duduk sambil matanya memandang jauh pada padang rumput hijau. Berayun dan berayun. Dinikmatinya angin semilir, sejuk. Langit masih biru dan kabut belum turun.

Hening jadi kawan setia. Mata perempuan itu menerka batas langit. Terus berayun dan berayun. Biru tiada cacat. Mega-meganya  pun putih tak pucat. Meski begitu cuaca, tak seperti apa yang ada dalam isi kalbunya. Yang telah menggulita sepanjang minggu dengan badai mengamuk, menderu.  Petir bersahutan tak berkesudahan. Sementara lelaki yang ditunggunya belum juga datang.

Senja seperti ketika ia melihat tubuh lelaki itu pergi hanya tinggal beberapa jam lagi. Sebelum biru sempurna itu berganti warna merah bercampur ungu. Tapi sepanjang minggu itu dia menunggu, tak kunjung datang. Apakah mati dalam lautan api? Apakah hangus terbakar tanpa sisa? Apakah ia takkan berjumpa selamanya?

Meski sudah terbiasa dengan ketidakhadirannya, tetap saja gundah meliputi hatinya. Rindu yang itu-itu juga. Bimbang antara menunggunya atau haruskah melupakannya? Apa yang membuatnya begitu tertarik pada lelaki bodoh itu? Bukankah jutaan lelaki di dunia ini sama saja?

Tapi lelaki manapun takkan sebanding dengannya. Karena Pono telah menghancurkan semua bentengnya yang telah dibangun dengan sedemikian rupa. Hanya lelaki itu yang tahu, ia bukanlah perempuan dengan lapisan baja di sekujur tubuhnya. Seperti yang disangkakan orang-orang padanya. Ia tidaklah sekuat itu. Ia tidaklah sekeras itu. Ia tidaklah semampu itu. Ia hanya perempuan biasa yang ringkih dan butuh seseorang untuk melihat dirinya seutuhnya.

Tak ada yang mampu menahan bara api dalam matanya, gemuruh badai dalam dadanya, letupan meriam dalam kepalanya, kegelapan malam dalam hatinya, seperti Pono. Berkali-kali Maryam ingin mengubur jasad lelaki itu, dia tetap bangkit dan terus hidup. Menyapanya dengan wajah tanpa dosa dan tawanya yang tolol.

Kapan lagi Maryam dapat saling bunuh di atas awan, berdendang dalam lautan, menari di tanah pekuburan, mendengar orkestra gelandangan, bernyanyi di sela-sela demonstran dan tertawa di depan istana? Kapan lagi kegilaan-kegilaan baru datang dan mewarnai harinya yang hitam putih?

Ia hanya berayun dan berayun sambil membayangkan segalanya, sementara langit mulai gelap, kabut hampir pekat.

Masih ada waktu untuk menanti.

...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun