Data 04:
     Margio sendiri menemukannya suatu pagi, kala terbangun dari tidur seorang diri di surau, berminggu lalu...........seekor harimau putih rebah di sampingnya, tengah menjilati kakinya sendiri...(Hlm. 39)Â
     Ia tahu binatang ini tak sungguh-sungguh hidup. Sepanjang dua puluh tahun hidupnya, ia telah keluar masuk rimba raya di pinggiran kota, dan tak pernah menemukan harimau semacam itu....... Itu mengingatkannya dirinya pada kakeknya bertahun-tahun lampau. Matanya dibikin berkaca-kaca, dan tangannya terulur perlahan, mencoba meraih kaki depan si harimau. Benda itu sungguh-sungguh ada di sana, dengan berbulu selembut kemoceng, kuku-kukunya tersembunyi pertanda tawaran bersahabat,... Margio meraihnya lagi, dan kaki si harimau menepuk kecil, serupa anak kucing bermain-main......Margio masih berbaring, si harimau kembali menjilati kakinya, bersimpuh di hadapannya. Lembut ia menepuk bahunya, sambil menyapa.
     "Kakek?" (Hlm.40)Â
     Pada data di atas jelas menyatakan bahwa, harimau yang dikaitkan pada hal yang ghaib atau metafisika, bila dianalisis menggunakan teori psikoanalisis Freud, dihasilkan kerja ego yang melakukan reaksi dari id yang pada prinsipnya mengejar kenyamanan, kesenangan, dan tidak ada di wilayah sadar. Kenyamanan itu berasal dari dorongan-dorongan id, dan ego mewujudkannya  menjadi sesosok harimau dalam pandangan Margio, yang dipikirnya adalah kakeknya. Hal ini akan penulis kaitkan dengan narasi kilas balik pada data 05 yang akan bercerita pada peristiwa saat kakeknya masih hidup pada masa kecilnya.
     Data 05:
     Dahulu kakeknya tinggal jauh di desa.....(Hlm. 40)
     Kakeknya tinggal bersama nenek di sebuah pondok,... Margio sangatlah menyukai kakeknya yang tak bongkok meski rambutnya perak tanpa cela, sebab sang kakek akan membawanya ke parit kecil dan menyebutnya sebagai kerajaan jin. Jangan sekali-kali menggoda gadis jin, katanya selalu, namun jika seorang gadis jin jatuh cinta kepadamu, ambillah sebab itu adalah anugerah. Kakeknya bilang, gadis-gadis jin sangatlah cantik, dan ia selalu berharap pula salah satu dari mereka jatuh cinta kepadanya, meskipun kemudian tampaknya itu tak pernah datang, walau berkali ia mendatangi parit kecil tersebut.  Di atas segalanya, harimau kakek merupakan kisah yang paling menakjubkan. (Hlm. 42)
     ....kakek memiliki itu dari ayahnya, dan ayahnya dari ayahnya, dan nenek moyang yang barangkali tak lagi diingat siapa yang pertama kawin dengan harimau. (Hlm. 43)
     hingga suatu sore, pada kunjungan Margio yang penghabisan sebelum kakeknya mati, si kakek berkata kepadanya, memastikan,
     "Harimau itu putih serupa angsa." (Hlm. 45)