Mohon tunggu...
Ayu Wulansari
Ayu Wulansari Mohon Tunggu... Dokter - Bukan account bot, apalagi buzzer.

General practitioner, UNDIP alum. Interested in contemporary lit, feminism, public policy, and easy philosophy -- but I cook science for a living.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mimpi Sukses Terganjal Tes Buta Warna, Mengapa?

14 November 2019   18:07 Diperbarui: 15 November 2019   05:17 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tak dapat dipungkiri, tes seleksi perguruan tinggi semakin tahun semakin menjadi momok bagi siswa SMA/SMK yang ingin melanjutkan pendidikan. Tidak cukup doa dan usaha berbulan-bulan dipersiapkan untuk menghadapi tes tersebut. Namun ternyata, yang lebih mengerikan adalah mengetahui fakta bahwa usaha anda selama ini sia-sia hanya karena satu faktor yang tidak bisa diganggu gugat dan tidak bisa diperbaiki di bimbingan belajar manapun. Anda terdiagnosis buta warna. 

Jangankan untuk ikut tes seleksi kemampuan, seleksi administratif pun sudah tidak memenuhi syarat. Ini bahkan tidak hanya terjadi di lingkup pendidikan, melainkan juga dalam dunia kerja. 

Tidak jarang perusahaan-perusahaan besar dan prestisius mengharuskan calon karyawannya bebas buta warna. Mengapa? Mengapa tes buta warna itu penting? Dan mengapa sebagian besar orang bahkan tidak pernah sadar bahwa dirinya buta warna?

Hubungan kondisi buta warna dan pekerjaan sebenarnya sudah ada cukup lama dalam sejarah. Pada awal abad 19, tes buta warna pertama kali diperkenalkan dan diterapkan untuk tim operasional kapal laut dan masinis kereta. Tes ini akhirnya mulai diadaptasi secara luas mengingat semakin tingginya angka-angka kecelakaan kerja yang fatal akibat defisiensi persepsi/penglihatan warna. 

Golongan pekerjaan yang sekiranya membutuhkan kemampuan persepsi warna yang baik, misalnya: praktisi kesehatan, analis kimia, teknisi, operasional alat berat, angkatan bersenjata, bidang transportasi dan navigasi, pekerja seni dan disain, serta lain sebagainya. Tentunya pekerjaan ini pun tidak menuntut level kecakapan yang sama terkait detail pekerjaan di bidangnya masing-masing. 

Fungsi persepsi warna pada polisi tidak ekuivalen dengan fungsi tersebut saat menjadi pilot. Sayangnya, untuk keperluan pekerjaan ini, pemeriksaan untuk mengetahui perbedaan derajat/keparahan kondisi buta warna tidak banyak dilakukan. Selama ini yang familiar kita lihat pada medical check up sebenarnya hanyalah pemeriksaan skrining untuk mengetahui status buta warna seseorang.

Sebelum maraknya tren dan perhatian akan tes buta warna, mungkin kita tidak pernah menyadari pentingnya penglihatan warna dalam kehidupan sehari-hari. Jarang juga terbayang bagaimana rasanya hidup bila sekeliling kita hanya berwarna hitam, putih, dan abu-abu. 

Dalam istilah medis, itulah definisi sesungguhnya buta warna. Sedangkan, kebanyakan kasus gangguan penglihatan warna di masyarakat sebenarnya hanyalah "defisiensi penglihatan warna" atau yang biasa disebut sebagai buta warna parsial/sebagian. 

Penderita buta warna parsial seringnya tidak merasa ada yang salah dengan penglihatannya. Saat melihat warna-warna tertentu yang dikeluhkan hanyalah sensasi kabur atau kurang jelas. Seperti misalnya, orang normal dan orang dengan defisiensi sama-sama melihat warna hijau hanya tidak dalam intensitas kecerahan yang sama. Sehingga orang dengan buta warna parsial mungkin cenderung kebingungan mempersepsikan warna hijau tersebut bila dikombinasi dengan warna-warna lain dan kemungkinan tertukarnya interpretasi warna menjadi sangat tinggi. 

Kelainan ini, yang disebut dengan red-green color deficiency, adalah bentuk tersering dan terbanyak dari seluruh kasus buta warna. Gejalanya lebih ke arah ketidakmampuan mendiskriminasi warna dibanding ketidakmampuan melihat warna.

Buta warna merupakan penyakit turunan/genetik bersifat sex-linked terkait kromosom X. Tanpa perlu memusingkan definisi kedokteran, pada intinya, anda memang terpilih dan terlahir sudah dengan kondisi tersebut. 

Buta warna lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 20:1. Perempuan cenderung hanya berfungsi sebagai "pembawa sifat genetik" kelainan buta warna yang tidak memunculkan gejala pada saat tes. Artinya, sangat mungkin perempuan dengan buta warna hanya bisa diketahui lewat pemeriksaan genetika yang rumit, sedangkan pada tes buta warna hasilnya normal. 

Barulah saat wanita ini menikah dan memiliki anak laki-laki, anak laki-lakinya lah yang bisa memiliki kemungkinan lebih tinggi mengidap kondisi buta warna dan gagal dalam mengerjakan tes.

Bagi yang sudah pernah mengerjakan tes buta warna dan dinyatakan lulus, tentu menurut kita melihat angka dan pola pada lembar-lembar buku tes tersebut sangatlah mudah. Namun pada orang dengan defisiensi, perlu waktu lama untuk memperhatikan dengan seksama dan masih juga sering terkecoh (padahal sudah berusaha mengelabui dan menghapal isi buku itu sebelumnya). Betul, yang dimaksud adalah tes buta warna menggunakan metode buku Ishihara. Metode ini hanyalah satu dari banyak metode pemeriksaan untuk diagnosis gangguan penglihatan warna. 

Sayangnya hingga saat ini, perkembangan pemeriksaan buta warna bahkan sudah satu abad berjalan, namun belum ada satu standar pemeriksaan terbaik yang sepakat direkomendasikan oleh para ahli seluruh dunia untuk mendiagnosis buta warna berikut derajat keparahannya. 

Tes Ishihara merupakan yang tersering dilakukan untuk tujuan skrining karena cenderung cepat, sederhana, dan mudah diinterpretasi. Kelemahannya, tes buta warna metode ini hanya dapat mendeteksi tipe buta warna tertentu dan tidak dapat memberikan informasi mengenai derajat keparahan kondisi tersebut yang sebetulnya pasti berguna dalam menyusun kriteria eksklusi pelamar pekerjaan secara lebih adil.

Sebuah studi di India juga sebelumnya pernah menyoroti mengenai tingginya angka masyarakat yang tidak sadar akan kondisi buta warna yang dialaminya. Pada waktu itu, studi ini dilakukan dengan sampel siswa sekolah tinggi yang beberapa tahun lagi akan mendaftar perkuliahan. Sebuah setting yang hampir mirip dengan Indonesia, bukan? Perbedaannya, dari angka-angka tersebut, akhirnya India mulai gencar memperkenalkan program skrining buta warna terintegrasikan kurikulum dengan sasaran anak sekolah dasar. Hal ini tentu saja bertujuan untuk membantu memberikan gambaran mengenai bidang karir sesuai minat dengan mencoba mempertimbangkan juga hasil tes tersebut. 

Bayangkan beban psikologis yang setidaknya bisa diminimalisir bila anda dan keluarga sudah lebih siap sejak awal dengan beberapa alternatif pilihan karir, dibandingkan dengan harus menerima kenyataan pahit pada menit-menit terakhir.

Skrining buta warna di Indonesia mungkin belum bisa terlaksana dalam skala besar, meskipun ada beberapa sekolah di kota-kota besar yang menyediakan program ini sebagai bagian konseling. Namun saat ini kita pun tidak kalah maju dalam teknologi. Saat saya mencari material demi penulisan ini, saya menemukan suatu rancangan anak negeri yang membawa tes buta warna metode Ishihara tersebut langsung dalam jangkauan smartphone kita. 

Aplikasi ini tersedia di sistem Android. Saat dilakukan percobaan oleh ahlinya pun, tes ini ternyata tidak jauh berbeda secara mekanisme dan akurasi bila dibandingkan dengan tes buta warna Ishihara yang dilakukan secara manual. Setidaknya, anda punya pilihan untuk secara aktif melakukan skrining mandiri sejak dini. Sebelum ada kepastian terkait peraturan perlindungan dan penghapusan diskriminasi pengidap buta warna pada lingkungan kerja dan pendidikan, maka hal inilah yang terbaik bisa anda lakukan untuk mempersiapkan diri dan jalan sukses anda sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun