Mohon tunggu...
Ayu SabrinaBarokah
Ayu SabrinaBarokah Mohon Tunggu... Jurnalis - Citizen Journalist

Perempuan yang mencoba berdaya melalui karya tulis digital, dengan keyakinan Learning by doing.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Refleksi Era Konvergensi Media: Kuasa Media dan Pemberitaan di Indonesia

1 Juli 2020   11:59 Diperbarui: 1 Juli 2020   12:01 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Adapun sisi positif dari konvergensi media ini adalah, dapat meningkatkan akses informasi dengan jaringan internet. Antara era new media  dengan konvergensi media ini saling berkaitan. Kita sama-sama mengetahui bahwa hampir sebagian besar penduduk dunia memiliki ponsel pintar yang berisikan sosial media. Sehingga, untuk mendapatkan informasi tidak hanya diperoleh dari surat kabar, majalah, atau media konvesional lainnya, tapi juga hadir melalui jaringan internet yang disebut jurnalisme online.

Dunia mencatat , Indonesia sebagai pengguna Twitter terbesar ke-tiga di dunia. Artinya, minat pemirsa yang biasa baca informasi atua berita di koran , majalah, dan siaran televisi kini juga beralih pada media sosial seperti twitter. Media maenstream pun ramai-ramai membuka akun instagram, twitter, dan facebook sebagai medium distribusi beritanya. 

Apalagi, instagram kini dilengkapi dengan fitu-fitur yang mendukung dapat diaksesnya berita baik reportase atau naratif.  Keadaan tersebut, mendukung para pemilik media untuk dapat bersinergi dalam memperbesar modal, jaringan, juga kualitas berita. Belum lagi jika pemilik media tersebut adalah para politisi, yang dominan digunakan sebagai alat komunikasi politik atau yang lebih parahnya sebagai propaganda. Realitasnya , tidal sedikit media maenstream di Indonesia pemiliknya merupakan seorang politikus. Hal tersebut tentu memengaruhi visi misi juga orientasi redaksi media tersebut.

Menurut Edward S.Herman dan Noam Chomsky (1988) dalam bukunya Manufacturing Consent "the political economy of the mass media" ada 6 poin yang menyatakn bahwa ekonomi politik sebagai propaganda media diantaranya, Propagana model, kepemilikan, iklan, narasumber yang khas, kritik, dan bersifat anti-komunis. Di Indonesia sendiri, yang paling signifikan adalah kepemilikian media tersebut. Setidaknya, ada 12 kepemilikan media di Indonesia yang melakukan Konvergensi Media yaitu, MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Group Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, Berita Satu Media Holdings, Group Media, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media.

Beberapa diantaranya dimiliki oleh politikus, salah satunya adalah MNC Group. MNC Group secara terang-terangan menunjukkan adanya konglomerasi antara media dan juga partai politik, yakni Partai Perindo. Perindo masuk dalam berbagai tayangan iklan di televisi dan media dari MNC Group, bahkan ketika tahun politik bergulir partai Perindo ini sangat gencar berkampanye secara digital di tayangan media MNC Group. Hal ini membuktikan bahwa partai politik bisa langsung berafiliasi dengan media-media yang ada di Indonesia. Selain itu, negara Filipina yang merupakan negara dengan Pers paling bebas di Asia pun, pemilik medianya merupakan pemilik partai politik.

Contoh lain adalah Kompas , merupakan salah satu media yang paling berpengaruh di Indonesia. Sebelumnya, Kompas hadir dalam bentuk media cetak berupa koran yang terbit harian. Seiring dengan perkembangan teknologi, kompas melakukan konvergensi media dengan meluncurkan portal berita Kompas.com. Portal ini memberikan berita yang lebih cepat, real-time dan beragam. 

Para pembaca kompas yang sebelumnya harus membeli koran kini dapat mengakses informasi melalui internet. Konten berita yang ditampilkan pun menjadi lebih beragam untuk menyasar pasar yang lebih luas. Selain portal berita, kompas juga menyediakan versi digital dari koran kompas berupa epaper Kompas. Hal ini memungkinkan pelanggan harian koran kompas untuk tetap bisa mengakses berita melalui laptop, smartphone, tablet dan gadget lainnya.

Harus diakui bahwa kini pemilik media bukan hanya pengusaha tapi juga politisi, bukan berlatarbelakang dari wartawan yang idealis. Tak heran jika mereka tak paham Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan teori-teori tentang jurnalistik. Alih-alih kepentingan pribadi, bisnis, ekonomi bahkan politik menjadi warna khas yang disuguhkan secara terang-terangan. Sudah tidak ada rasa malu lagi untuk menunjukkan kepentingannya. Malah terkesan berbondong-bondong berkompetisi, saling unjuk ketransparanannya kepentingan, yang bersangkutan merasa hebat dapat mengendalikan media yang merupakan kepemilikannya, namun hal itu disebabkan karena kurangnya pemahaman betapa sucinya jurnalistik.

Walaupun wartawan dituntut harus bersikap independen, namun nyatanya hari ini banyak media online yang secara terang-terangan berpihak pada suatu kubu politik. Wartawan memiliki caranya sendiri untuk bekerja sesuai dengan keberpihakan perusahaan medianya, yaitu dengan melakukan framing berita. Framing berita ini artinya wartawan dalam melaksanakan kerja jurnalistiknya tidak ragu dalam mempraktikan tebang pilih liputan. Hal tersebut menunjukkan apa yang diliput dan apa yang luput dari pemberitaan. Media kita hari ini justru mengkontruksi sedemikian rupa realitas.

Di samping itu, meski akurasi dari jurnaslime online diragukan namun memang internet adalah akses yang cepat untuk menyebarkan informasi. Kecanggihan teknologi saat ini harus menjadi tantangan sendiri untuk wartawan. Dimana wartawan harus mampu bekerja cepat tanpa mengabaikan akurasi sehingga menepis adanya isu hoaks. Sudah terlalu sering profesi wartawan dinilai negatif oleh publik, jangan sampai memperparah lagi citra wartawan dengan menyebarkan berita hoaks. Desas-desus hoaks jangan sampai merubuhkan wartawan yang hingga sampai saat ini tetap teguh dan idealis.

Ketika elit politik dan media tengah menjalin konglomerasi, bukankah menunjukkan bahwa media dan politisi punya kuasa besar di Indonesia , lalu bagaimana dengan nasib rakyat ? kemana rakyat harus menaruh kepercayaan kini ? Pengaruh media di Indonesia, menjadikan bonus demografi sebagai faktor utamanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun