Mohon tunggu...
Ayu SabrinaBarokah
Ayu SabrinaBarokah Mohon Tunggu... Jurnalis - Citizen Journalist

Perempuan yang mencoba berdaya melalui karya tulis digital, dengan keyakinan Learning by doing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengkaji Mental Hidup Miskin yang Berpotensi Melanggengkan Kemiskinan

19 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 19 Juni 2020   19:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Anak -- anak dari keluarga miskin dalam penelitian tersebut  mengaku bahwa orang tua mereka cenderung mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya mengahadapi masalah ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa masalah itu bisa terjadi dan mendapat jalan keluarnya. Sebagai contoh, seorang anak mengaku lebih sering menerima pukulan saat orang tuanya tahu bahwa dirinya berkelahi di sekolah. Padahal, perkelahian tersebut karena sang anak menerima perundungan dari teman -- teman sebayanya. Tanpa kemampuan mendengar dan mencarikan jalan keluarnya, perilaku orang tua seperti itu hanya akan membuat sang anak semakin frustasi menjalani pendidikan, padahal pendidikan adalah solusi bagi kemiskinan.

 Pola pengasuhan tentu sangat berkaitan dan memengaruhi dengan tingkat pendidikan orang tua. Kita tahu, bahwa sekitar 63 persen penduduk miskin di Indonesia hanya memperoleh pendidikan setara sekolah dasar atau tidak bersekolah sama sekali. Dalam penelitian tahun 2019, tim peneliti menyimpulkan bagaimana anak miskin akan tetap miskin ketika dewasa setelah menguji tujuh faktor yang mungkin berpengaruh pada peningkatan penghasilan mereka dan menemukan bahwa kondisi anak -- anak tersebut tidak berubah setelah 14 tahun.

 Ketujuh hal yang dibandingkan adalah status kemiskinan hasil tes kognitif, hasil tes matematika, lama bersekolah, kapasitas paru -- paru (untuk menggambarkan kondisi kesehatan), koneksi pekerjaan melalui kerabat, dan hasil tes kecenderungan depresi. Sebagai ilustrasi, salah satu yang diuji adalah hasil tes matematika. Rupanya, walaupun ada kesamaan nilai matematika yang diperoleh antara anak -- anak yang miskin dengan yang tidak, namun ketika mereka beranjak dewasa, pendapatan si anak miskin tetap jauh dari pendapatan si anak tidak miskin saat dewasa. Artinya, pendidikan (yang digambarkan melalui hasil tes matematika) tidak berdampak signifikan pada penghasilan anak -- anak miskin pada masa depan dibandingkan anak -- anak kaya.

 Lewat penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa hal ini bisa terjadi karena anak -- anak tidak miskin memiliki modal yang tidak seimbang dari keluarganya. Hal ini yang mengakibatkna mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar dalam memperoleh kesempatan ekonomi. Lalu, bagaimana dengan berbagai intervensi pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan atau Kebijakan Kota dan Kabupaten Layak Anak (KLA) yang diciptakan untuk menjamin terpenuhinya hak anak untuk hidup secara layak, tanpa kekerasan dan diskriminasi? Pemerintah perlu melakukan penelitian yang berkualitas baik untuk dapat mengevaluasi efektivitasnya dan memastikan bahwa program mereka dapat meningkatkan kesejahteraan anak -- anak miskin.

 Sebenarnya sangat banyak penyebab kemiskinan, selain dari faktor kultur adapun seperti kualitas sumber daya manusia, ketersediaan lowongan kerja, kondisi geografis, dan lain sebagainya. kemiskinan juga tidak sekedar berindikator pada aspek ekonomi, tetapi juga kesehatan, tempat tinggal, bahkan rasa aman. penduduk miskin tidak dapat memenuhi standard kecukupan kebutuhan hidup. entah itu finansial, fisik, maupun non-fisik.

 Didorong dengan seiring perkembangan zaman, dimana teknologi hampir ada di segala bidang kebutuhan, dan teknologi bisa dianggap menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan manusia. teknologi mencapai titik dimana manusia memanfaatkannya bukan karena kemudahan tetapi karena kebutuhan. hal ini meyebabkan ketergantungan. meskipun teknologi diciptakan untuk memudahkan aktivitas manusia, teknologi mempengaruhi kehidupan sosial manusia. dimana bahkan untuk membeli kebutuhan hidup mereka, dapat menggunakan sebuah aplikasi yang bergerak di bidang jasa.

 Ketidakmampuan finansial tentu menghalangi orang miskin dalam memenuhi kebutuhan yang tergolong baru ini. tetapi sebenernya teknologi itu hanyalah "pemanis". dimana adanya teknologi menciptakan standard efisiensi manusia dalam beraktivitas. sebenarnya orang miskin tetap bisa menjalani kehidupannya tanpa teknologi, tapi tentunya mereka tidak bisa beraktivitas se-efisien itu dibandingkan dengan bantuan teknologi.

  Dengan standard efisiensi yang sudah ada. masyarakat yang mampu dapat memaksimalkan kinerja mereka dengan menghabiskan sedikit waktu dan menghasilkan banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain. tetapi bagaimana dengan orang yang tidak mampu? mereka tetap  harus memaksimalkan kinerja mereka dengan kerja keras. setelah mereka selesai, mereka sadar bahwa kerjaan selanjutnya sudah ada di depan mata. kondisi sosial tersebutlah yang menyebabkan orang yang tergolong mampu cenderung atau berpotensi untuk bermalas - malasan dibanding orang miskin.

  Budaya  kemalasan cenderung terjadi karena seseorang sudah berada di zona nyamannya.  Terutama untuk generasi muda yang kebutuhannya sudah terpenuhi dikarenakan orangtuanya yang mampu. mereka yang tumbuh pada lingkungan yang sudah memenuhi kebutuhannya dapat menimbulkan pola pikir bahwa sistem tersebut akan selalu ada. tanpa penanganan yang tepat, generasi muda berpotensi untuk terpapar kemalasan. daripada menghabiskan waktu mereka untuk meningkatkan kualitas individu, mereka bisa saja sibuk untuk menikmati kelimpahan yang di berikan orang tuanya.

  Kemalasan merupakan salah satu pintu masuk dalam "Vicious Circle of Poverty" atau "Lingkaran Setan Kemiskinan". kemalasan akan menyebabkan "Low Productivity" atau produktivitas yang rendah, baik produktivitas barang dan jasa sampai peningkatan sumber daya manusia. setiap orang dialiri waktu yang sama, tinggal bagaimana mereka memanfaatkan setiap detiknya. ada yang memanfaatkannya untuk belajar untuk mengembangkan wawasan dan kualitas individunya, ada juga yang memanfaatkan waktu tersebut untuk hal yang tidak penting bahkan tidak melakukan apapun dan hanya merelaksasikan dirinya. Tentu menikmati apa yang dipunyai merupakan hak setiap orang. tetapi malas yang dimaksud adalah keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. (Edy Zaqeus: 2008).

 Pada lingkaran setan kemiskinan, produktivitas yang lemah akan berdampak terhadap "investment" atau investasi. investasi yang dimaksud adalah penanaman kemampuan atau keahlian untuk memenuhi kebutuhan hidup.  manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. tetapi ketika mereka mempunyai "investasi" yang rendah, maka mereka akan kalah dengan orang yang mempunyai kemampuan lebih. hal ini sangat tampak pada persaingan dunia kerja modern seperti rekrutmen suatu perusahaan dan instansi lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun