Mohon tunggu...
Ayu SabrinaBarokah
Ayu SabrinaBarokah Mohon Tunggu... Jurnalis - Citizen Journalist

Perempuan yang mencoba berdaya melalui karya tulis digital, dengan keyakinan Learning by doing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengkaji Mental Hidup Miskin yang Berpotensi Melanggengkan Kemiskinan

19 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 19 Juni 2020   19:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia, sebuah negara dengan beragam keunikan dan polemik politik yang tidak ada habisnya. Indonesia adalah rumah bagi 269 juta orang lebih di dalamnya merupakan jumlah keempat terbesar di dunia , tidak peduli suku, agama, dan pekerjaannya. Berbicara terkait pekerjaan, hal tersebut masih menjadi momok pembicaraan hangat di setiap acara bangsa ataupun statement calon wakil rakyat. Pekerjaan pun, menjadi hal yang menjamin seseorang miskin atau kaya. Hal ini bukan hanya berasal dari kontruksi sosial, tetapi juga dari pengakuan negara sendiri (Indonesia) bahkan negara di dunia.

 Kemiskinan merupakan salah satu masalah global yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan dasar, kemiskinan di negeri ini berdampak pada sejumlah masalah sosial lain, seperti pengangguran, kekurangan gizi, hingga meningkatnya tindak kriminal.

Permasalahan tersebut  pun masih belum mendapatkan  jawaban untuk langkah yang konkrit, kita justru saling melempar bola. Pemerintah dengan keagungannya mengaku bahwa telah berusaha membuka lapangan pekerjaan selebar-lebarnya, begitu pun dengan masyarakat yang dicap 'miskin' mengaku belum merasakan hal yang telah disampaikan  oleh pemerintah. Maraknya pemulung, pencopet, hingga pengemis cukup membuktikan bahwa negara Indonesia masih belum bersih dari tatanan garis kemiskinan masyarakatanya.

Kegagalan mengatasi persoalan kemiskinan akan dapat menyebabkan munculnya berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah masyarakat. Upaya serius pemerintah untuk mengatasi kemiskinan sudah dilakukan sejak era Orde Baru. Hasilnya, selama periode 1976-1996 (Repelita II -- V), tingkat kemiskinan di Indonesia menurun secara drastis, dari 40% di awal Repelita II menjadi "hanya" 11% pada awal Repelita V (Mubyarto,2003).

Catatan gemilang tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan bangsa Indonesia dalam melaksanakan berbagai program pembangunan ekonomi. Selama tiga dekade pembangunan tersebut, ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh di atas 7% tiap tahunnya.

Keberhasilan Indonesia dalam melakukan pembangunan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan ini kemudian mendapat banyak pujian dari masyarakat dunia. Laporan World Bank (1993) yang bertajuk : "The East Asian Miracle", misalnya, menempatkan Indonesia menjadi salah satu macan Asia dalam daftar "The High Performing Asian Economics (HPAEs)" sejajar dengan Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Singapura.

 Sayangnya, tidak lama setelah World Bank mempublikasikan laporannya, krisis ekonomi kemudian melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1977. Krisis ini pada awalnya hanya merupakan persoalan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat atau krisis moneter (krismon)  saja karena dipicu oleh kejatuhan mata uang Thailand, Bath. Tanpa diduga, krismon yang sulit dikendalikan oleh pemerintah kemudian memicu munculnya krisis politik yang ditandai dnegan kejatuhan rezim Orde Baru.

Seperti bola salju, krisis ini kemudian membesar dan menjadi pencetus munculnya krisis-krisis yang lain. Singkat kata, krismon kemudian berubah menjadi krisis total (kristal) yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Hantaman badai krisis tersebut kemudian menyebabkan Indonesia benar-benar jatuh dalam titik nadir, dari negara yang memiliki prestasi pembangunan yang penuh keajaiban menjadi negara yang membutuhkan keajaiban untuk dapat keluar dari krisis.

 Krisis di segala aspek kehidupan tersebut menyebabkan Indonesia sulit keluar dari zona krisis. Jika negara-negara Asia Tenggara lainnya, misalnya Malaysia, Thailand, dan Singapura, telah berhasil memulihkan momentum pembangunan ekonomi mereka seperti kondisi sebelum krisis. Sampai saat ini, Indonesia masih belum mampu keluar dari kukungan krisis.

Sebagai akibatnya, berbagai program anti kemiskinan yang selama ini diprakarsai oleh pemerintah Orde Baru menjadi tidak terurus dengan baik. Dampak yang ditimbulkan dari kondisi yang demikian adalah meroketnya kembali angka kemiskinan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, jika pada tahun 1996 (sebelum krisis) jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat ditekan 11% setelah krisis melanda, angka tersebut menggelembung kembali menjadi 24% atau sekitar 39,4%

 Sebagaimana sudah disebutkan di awal tulisan ini, masalah kemiskinan bukanlah hal yang baru di Indonesia. Meskipun demikian, masalah kemiskinan selalu aktual untuk dibahas. Sebab, meskipun telah berjuang puluhan tahun untuk membebaskan diri dari kemiskinan, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa melepaskan diri dari belenggu kemiskinan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun