Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Inilah Mengapa Pemerintah Selalu Kalah dengan Preman Berjubah

18 November 2010   15:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita semua pasti mahfum apa dan siapa yang dimaksudkan dalam judul di atas. Di negeri ini, siapa sih yang tahu kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok preman berjubah yang mengatasnamakan agama, namun bertindak semena-mena terhadap manusia ciptaan Tuhan, sesembahan mereka?

Tak hanya di tempat-tempat "netral," bahkan di daerah bencana pun, para preman berjubah itu juga berulah. Dan, seperti biasa, Pemerintah yang notabene pengayom masyarakat, tak berani menentang atau mengusir mereka yang justru bertindak kontraproduktif dengan kegiatan tanggap bencana.

Mengapa sepertinya Pemerintah Indonesia, baik di Pusat maupun di Daerah, mengaminkan perbuatan-perbuatan mereka yang anarkis itu? Bukankah sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menjamin kemerdekaan dan hak asasi tiap warganya?

Dulu, saya mengamati kondisi gereja yang menurut saya memprihatinkan, bahkan sampai sekarang. Bagaimana tidak? Orang-orang kaya nan pandai itu mau saja dikibuli oleh pendeta-pendeta komersil, memberikan "yang terbaik" untuk gereja demi mendapatkan berkat yang lebih melimpah dari Tuhan. Tuhan sudah dianggap seperti "Sing Mbaurekso" alias "Penunggu" surga atau seperti mesin otomatis saja!

Inilah kesimpulan sementara saya:

1. Sejak kecil, kita selalu diarahkan orang tua untuk selalu belajar agar pintar dan lulus ujian dengan nilai yang baik. Kepandaian dan nilai yang baik dapat membuat kita masuk ke sekolah/kampus unggulan di jenjang berikutnya. Setelah itu, kita diharapkan dapat bekerja di tempat-tempat yang "basah" atau terjamin, seperti di perusahaan asing, atau menjadi birokrat/PNS. Itulah sebabnya ada jutaan orang yang sampai hari ini masih menunggu-nunggu, kapan ada pembukaan lowongan PNS lagi.

2. Sebagai kompensasi dari paradigma bahwa kepandaian itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin, maka bisa dikatakan hampir tak ada orang tua yang mendorong putra-putrinya--khususnya yang berprestasi--untuk menekuni bidang agama (menjadi pendeta, pastur, atau ulama), karena merasa "sayang" jika kepandaian mereka "hanya" mentok di ranah agama yang "kurang menjanjikan."

3. Akibatnya, mereka-mereka yang kepandaiannya pas-pasan, karena tidak diterima di kampus-kampus unggulan, masuk ke kampus yang masih menerima mereka apa adanya, dan biasanya itu adalah jurusan agama. Nah, karena tidak dibekali dengan bakat kepandaian yang cukup, maka luluslah mereka sebagai pemuka-pemuka agama yang pengetahuannya kurang memadai.

4. Maka, mengingat orang-orang berkemampuan pas-pasan itu disebut sebagai ahli kitab suci karena tiap hari yang dikerjakan memang hanya membaca dan mengkaji kitab suci, serta berdoa, di dalam rumah ibadah, mereka memiliki otoritas yang lebih tinggi dari jemaat, sepandai apapun jemaat itu. Jemaat-jemaat ini, meskipun di kehidupan sehari-hari memiliki jabatan/kedudukan/kekayaan/kepandaian yang "lebih" daripada pemuka agamanya, mereka tak berani mengkritisi, karena takut mendapat balasan dari Tuhan. Lagipula, mereka juga merasa kurang memahami kitab suci, yang hanya mereka baca sesekali.

5. Oleh sebab itu, jemaat-jemaat pandai itupun kemudian seperti keledai dungu yang hanya mampu mengaminkan setiap perkataan sang pemuka agama, tanpa merasa perlu untuk mencerna lebih lanjut. Maka, ketika sang pemuka agama mengkampanyekan pentingnya Minyak Urapan, mereka pun berlomba-lomba mengantri di konter penjualan Minyak Urapan di depan gereja. Sungguh ironis!

Mungkinkah hal yang sama terjadi pula pada Pemerintah kita? Saya percaya, itulah yang sekarang sedang terjadi. Siapa sih, yang akan sembarangan melawan seorang pemuka agama, apalagi jika beliau dikatakan adalah keturunan sang nabi? Khusus untuk kasus relokasi paksa pengungsi Merapi di Ganjuran, saya pikir para pengungsi itu lebih dewasa dalam beragama ketimbang anak-anak yang sudah merasa dekat dengan Tuhan hanya dengan berdandan ala negeri tempat agama mereka berasal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun