Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demo Yuuukk...

20 Oktober 2010   13:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:15 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini banyak yang melakukan demonstrasi untuk "merayakan" ulang tahun pertama pemerintahan SBY-Boediono. Semua pihak, terutama yang berada di luar lingkaran pemerintah, berlomba-lomba untuk memberikan "rapor" atas kinerja pemerintahan yang sedang berulang tahun ini. Seperti biasa, ada banyak pendapat tentang aksi demonstrasi. Ada yang berpendapat bahwa demonstrasi itu menyusahkan rakyat (terutama pengguna jalan) saja. Yang lain berpikir skeptis tentang niatan para demonstran, apakah mereka benar-benar berjuang demi kebaikan ataukah hanya mengejar bayaran. Di sisi lain, ada juga pendapat bahwa demonstrasi itu perlu, apalagi jika pemerintah bersikap abai melulu. Pemerintahan yang dijalankan tanpa kritik bisa berujung ke arah tirani, demikian kata mereka. Memang, dalam konteks negara demokrasi, unjuk rasa adalah hal yang lumrah, wajar, dan sangat biasa. Salah satu prestasi demokrasi terbesar di Indonesia adalah pada tahun 1998, ketika para pengunjuk rasa berhasil memaksa turun sang mantan tiran yang sekarang menjadi calon pahlawan itu. Akan tetapi, aktivitas-aktivitas serupa tidak berjalan sesuai harapan. Hampir tiap demonstrasi berujung pada anarki, yang justru kontra-produktif dengan tujuan awal demo itu sendiri. Demonstrasi di negeri ini pun sepertinya malah mirip pasar kaget, yang digelar ketika ada acara-acara besar tertentu. Saya jadi teringat suasana gereja di desa yang mendadak ramai dengan berbagai pedagang tiap malam Natal dan Tahun Baru. Padahal, belum tentu tujuan demo itu tercapai dalam sekali aksi. Di Hongkong, sekelompok mahasiswa yang terdiri dari sekitar 10 orang memulai perang terhadap korupsi di wilayah itu. Apakah yang mereka lakukan? Unjuk rasa di taman kota yang bernama Victoria Park. Demo itu mereka lakukan secara kontinyu, dan dibutuhkan tak kurang dari setahun penuh hingga akhirnya misi mereka tercapai. Waktu itu, Hongkong mengalami masa-masa terburuknya dalam masalah korupsi, sampai-sampai supir ambulans pun tak mau menjemput pasien jika belum mendapat "uang teh" terlebih dahulu! Pada tahun 1973, terungkaplah kebusukan Peter Godber, pejabat polisi yang korup namun melenggang bebas karena kembali ke negeri asalnya, Inggris. Waktu itu, Hongkong masih jajahan Inggris. [caption id="attachment_296931" align="alignnone" width="300" caption="from: http://www.icac.org.hk/new_icac/eng/abou/history/main_3.html"][/caption] Nah, peristiwa itulah yang mereka pakai sebagai isu pemicu untuk pemberantasan korupsi di Hongkong. Seperti bola salju, demo anti-korupsi yang dimulai dari 10 orang lalu berlipat ganda hingga lebih dari 10 ribu orang! Peter Godber akhirnya ditangkap dan diadili di Hongkong, dan dibentuklah ICAC (Independent Commission Against Corruption, seperti KPK di Indonesia). Sekarang, Hongkong adalah wilayah nir-korupsi! Demokrasi bukanlah sekedar tentang jumlah pendukung, tetapi tentang nilai yang diusung. Demonstrasi yang berhasil memerlukan komitmen untuk kebaikan. Jika tujuan demonstrasi hanya untuk merebut tahta, tentulah hal yang sama akan berulang ketika sang oposan menduduki tahta yang sama. "Barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang," demikian kata Yesus. Saat ini, Indonesia memerlukan aksi demonstrasi yang elegan, yang berkualitas. Masyarakat kita sudah jengah dengan pemandangan anarki di layar televisi. Karena biasanya hanya dilakukan pada peringatan tertentu yang belum tentu hari libur, maka partisipan terbesar pastilah mahasiswa. Saya membayangkan seandainya demo dilakukan setiap hari Sabtu atau Minggu, tentunya dengan agenda yang jelas, pastilah banyak dukungan juga dari kaum pekerja (seperti saya). Ngomong-ngomong, Sabtu besok saya akan mengadakan demo panci di kampung sebelah, siapa mau ikut? Hehehe... :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun