Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Pak Menteri, Sang Guru, dan Kemarahan yang Otentik

20 Maret 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:42 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_177445" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Hari ini marak diberitakan mengenai seorang menteri yang mengamuk di pintu gerbang tol. Kabarnya, beliau menjadi emosi karena melihat antrean yang panjang, sementara hanya dua dari empat pintu tol yang dibuka. Menteri BUMN ini langsung ambil tindakan. Dia keluar dari mobil, membuka palang pintu tol, membuang kursi petugas yang ada di dalam pos, lalu mempersilakan mobil-mobil yang sedang antre untuk segera lewat tanpa perlu membayar. Banyak orang memuji "aksi heroik" pejabat fenomenal ini, namun ada pula yang skeptis dengan tindakan sang menteri yang dianggap "tidak elegan" bahkan berlebihan. Hal yang wajar diterimanya, tentu saja, sebagai seorang tokoh masyarakat. Konon, sang menteri telah berkali-kali memperingatkan dinas terkait agar memperhatikan antrean mobil yang akan masuk tol supaya tidak lebih dari lima kendaraan di tiap gerbang. Itulah salah satu alasannya untuk mengamuk, ketika mendapati fakta lapangan yang belum ideal. Kabar lain menyebutkan bahwa pagi itu mantan dirut PLN tersebut sedang "terburu-buru" hendak mengikuti rapat, namun terkendala antrean panjang masuk tol. Entah mengapa beliau tidak memutuskan untuk naik ojek seperti yang biasa dilakukan (beberapa waktu lalu, beliau dikabarkan membonceng motor mahasiswa ITB untuk ke bandara). Jika demikian, maka setali tiga uang: "menyentil" kepala dinas terkait, mendapat publisitas, dan tidak terlambat datang rapat. Nah, dahulu kala ada pula seorang tokoh masyarakat yang menyita perhatian publik karena mengamuk di tempat ibadah. Mari kita melenggang sejenak ke masa silam. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, berita menggemparkan menyebar dari mulut ke mulut. "Sang Guru mengamuk di bait Allah!" "Iya, benar, Dia menjungkir-balikkan meja-meja pedagang!" "Dia mengusir mereka semua dari sana!" Peristiwa itu dengan segera menjadi perbincangan di seluruh kota. Sang Guru selama ini dikenal sebagai orang yang bijak. Memang, perkataan-perkataan yang Dia sampaikan terkadang keras, khususnya kepada para imam dan pemuka agama yang berlaku licik dan culas. Tapi, sepertinya baru kali ini Sang Guru mengamuk begitu rupa. "Wah, ternyata Sang Guru emosional." "Iya, reaktif sekali. Bukankah bisa saja Dia meminta mereka pergi dengan baik-baik?" "Nah, aku juga berpikir seperti itu. Ada apa dengan Sang Guru ya?" "Mungkinkah Dia sedang ada masalah pribadi atau keluarga?" "Hmmm... mungkin saja sih. Tapi mengapa harus mengamuk?" "Sepertinya sih bukan masalah keluarga. Keluarga-Nya baik-baik saja kok." "Atau mungkin Dia mengamuk karena dimahalin waktu mau beli hewan kurban?" "Nggak mungkin juga sih, soalnya selamat ini Dia nggak pernah keberatan soal hal-hal macam itu." Orang-orang ramai membuat prediksi. Mereka mungkin lupa, bahwa sehari sebelumnya, Sang Guru sudah pergi ke bait Allah bersama murid-murid-Nya. Anehnya, Dia tidak mengamuk pada hari itu. Mengapa? Mungkin sedikit pengalaman para murid bersama Sang Guru beberapa waktu sebelumnya bisa menjelaskan. Para murid tentu ingat bahwa Sang Guru punya kebiasaan yang unik, alias tidak biasa. Keputusan-keputusan yang diambilNya juga terkadang di luar dugaan. Salah satunya, ketika Sang Guru mereka dapati sedang berdoa di pagi hari. Sang Guru memang seringkali menyendiri dan berdoa, terutama di waktu-waktu "senggang" ketika tidak sedang melayani orang-orang. Pagi itu, Sang Guru sudah dicari orang banyak. Hari sebelumnya, Dia "buka praktek" pengobatan hingga larut malam, dan sepertinya masih ada yang belum terlayani olehNya. Hal yang wajar, jikalau orang banyak mencariNya. Mereka ingin supaya Dia buka praktek lagi seperti hari sebelumnya. Akan tetapi, para murid yang menyampaikan keinginan orang banyak itu terhenyak. Sang Guru malah mengajak mereka untuk berkeliling ke kota-kota lain, seakan tak peduli dengan warga kota yang telah lama menanti. Ada apa gerangan? Hanya Sang Guru yang bisa menjelaskannya dengan pasti, namun bukan kesimpulan yang salah jika keputusan itu bukan spontan dibuat, mengingat Sang Guru baru saja berdoa menyendiri. Amukan Sang Guru tentu bukan tanpa alasan. Dia marah karena melihat bagaimana para pedagang culas itu telah membuat rumah Tuhan menjadi seperti sarang penyamun. Tempat dimana semestinya umat mendapat kelegaan, justru adalah tempat yang sangat membebani hidup mereka. Umat yang semestinya difasilitasi agar bisa beribadah dengan baik, justru dipersulit dengan berbagai persekongkolan licik. Kabarnya, memang terjadi kongkalikong antara imam-imam dengan para pedagang itu. Imam-imam hanya akan menyatakan hewan persembahan halal dipersembahkan jika itu dibeli dari para pedagang. Tentu saja, hewan-hewan itu sudah dinaikkan harganya sedemikian rupa. Belum lagi uang persembahan yang berbeda dengan uang yang umum berlaku pada masa itu, yang harus dibeli di meja-meja penukar uang. Insiden itu tentu membuat nama Sang Guru makin berkibar di hati umat yang tertindas, tapi apakah itu yang Dia cari? Tanpa melakukannya pun, nama Sang Guru sudah tenar. Di suatu saat, Sang Guru bahkan tak ambil pusing ketika banyak orang meninggalkanNya karena perkataan yang terlalu keras. Dia bahkan menantang para murid untuk pergi juga, meski mereka akhirnya menolak. Apakah Sang Guru punya kepentingan dengan tindakannya itu? Yang jelas, Dia tidak hendak mempersembahkan apapun di hari itu. Dia juga tidak sedang menukar uang atau membeli hewan. Sang Guru hanya ingin agar bait Allah itu dikembalikan kepada fungsinya yang semula. Dengan membuat keributan itu, Sang Guru yang notabene "bukan siapa-siapa" di dalam struktur keimaman maupun pemerintahan sedang meresikokan Diri-Nya. Para pemuka agama pasti akan sangat marah dengan tindakan itu, tapi itu tak menyurutkan langkah-Nya untuk menegakkan kebenaran. Kemarahan ataupun amukan Sang Guru adalah kemarahan atau amukan yang otentik. Dia marah karena terjadi ketidakadilan. Dia marah karena kebenaran tidak ditegakkan. Dan Dia mengamuk, karena tak ada lagi cinta kasih di bait Allah. Sang Guru tidak marah karena kepentingan-Nya dihalangi. Dia tidak memiliki kepentingan langsung dengan amukan-Nya. Hidup-Nya memang benar-benar Dia abdikan untuk umat, terkhusus yang tertindas dan terpinggirkan. Di masa kini, saya membayangkan Sang Guru akan (lebih) marah dengan pengelolaan angkutan umum yang amburadul. Sang Guru akan mengamuk ketika melihat atau membaca berita tentang bagaimana penumpang angkutan umum terancam dipalak atau diperkosa tiap hari tanpa tindak lanjut yang signifikan dari dinas terkait. Sang Guru pasti akan mengamuk ketika melihat orang-orang harus naik ke atap gerbong kereta rel listrik tanpa upaya yang memadai dari pengelola. Saya senang jika ada pejabat yang menunjukkan ketidaksukaannya pada pelayanan publik yang berjalan dengan tidak semestinya. Saya salut dengan pak menteri, meski saya termasuk kurang setuju dengan cara-cara yang digunakan. Semoga makin banyak pejabat yang meneladani kemarahan pak menteri, dan akan lebih baik lagi jika semuanya meneladani kemarahan yang dicontohkan oleh Sang Guru, lebih dari dua ribu tahun yang lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun