Mohon tunggu...
Alfiyah  Qurrotu A.
Alfiyah Qurrotu A. Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

masih belajar, dan selamanya akan begitu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disiplin Tumbuh Karena Hukuman Fisik, Membantu atau Menyusahkan Anak?

15 November 2019   01:05 Diperbarui: 15 November 2019   01:14 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pukul anak oleh bangkatribunnews.com

Melatih anak menjadi displin adalah perkara yang wajib bagi seluruh orang tua. Tidak perlu ditanyakan kegunaannya untuk apa, pastinya setiap dari kita sudah mengetahui arahnya kemana kan, ayah, bunda? 

Kegiatan yang mengarah kepada perilaku disiplin akan semakin mengefektifkan kinerja anak dalam mengendalikan perilaku mereka dalam bertindak, begitulah yang dipaparkan Valya Telep dalam Publikasi Ilmiahnya terkait Perkembangan Anak Usia Dini Virginia State University tersebut. 

Adanya pengendalian dalam bertingkah laku tersebut juga akan memudahkan anak untuk mengeksplorasi ide-ide terkait benar atau salah terlepas dari sebuah hukuman.

Berbicara tentang disiplin dan hukuman, kedua hal tersebut akan secara otomatis ditautkan dengan istilah modifikasi perilaku. Kira-kira apa yang tiba-tiba terlintas dalam benak kita? Bukan modifikasi motor lho ya, perilaku juga bisa dimodifikasi, bahkan hal tersebut cukup memberi pengaruh dalam kehidupan seseorang. Kenapa perilaku perlu dimodifikasi? Bukankah hal tersebut menjadi hak setiap individu dalam menentukannya? 

Eiitts perilaku merupakan kegiatan yang dikerjakan dan apa yang dikatakan oleh seseorang, tentu perilaku tersebut akan berakibat pada lingkungan sekitarnya baik ruang dan waktu.

Modifikasi perilaku, atau mudahnya adalah upaya dalam mengubah perilaku dari individu tertentu sebaiknya dipahami oleh banyak kalangan. Khususnya bagi orang tua maupun pengajar yang notabenenya dekat dengan kehidupan anak, hal tersebut dapat perlahan mengubah perilaku anak alih-alih dapat mengajak anak memahami setiap perilaku yang ia lakukan.  

Dalam memodifikasi perilaku langkah paling awal adalah mengumpulkan berbagai informasi terkait masalah yang dihadapi yang didialamnya mengungkap faktor penyebab terjadinya perilaku yang ingin diterapkan sebuah modifikasi. Ada beberapa pendekatan dalam mencapai tujuan tersebut, diantaranya sebagai berikut

Reinforcement

Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan stimulus berhubungan dengan penguatan. Baik berupa positif pada target atau negatif. Teknik yang sangat umum digunakan dalam memperkuat perilaku seseorang yang kemudian diberi reward saat individu tersebut telah mencapai ketentuan yang diinginkan dari pemberi stimulus. 

Pada umumnya, sistem yang demikian diberikan ketika siswa mendapat nilai yang memuaskan kemudian pendidik memberikan apresiasi berupa stiker atau barang tertentu. 

Pendekatan negative reinforcement mengacu kepada penguatan stimulus negatif. Tujuan untuk mengubah perilaku tetap ada, namun dalam aplikasinya, pendekatan ini menggunakan penguat negatif dalam menghilangkan perilaku.

Punishmet

Salah satu pendekatan yang cukup populer digunakan oleh banyak orang. Namun, yang perlu diketahui, pendekatan ini bukanlah menghilangkan sebuah perilaku tertentu melainkan hanya untuk melemahkan atau mengurangi hal yang kurang menyenangkan terhadap perilaku tersebut. Misalnya adanya hukuman bagi anak untuk tidak diperbolehkan menonton televisi atau bermain gawai.

Hal tersebut memang hukuman yang tidak menyenangkan bagi anak dan bisa jadi dipatuhi oleh anak, namun tidak menutup kemungkinan anak akan kembali tidak patuh di kemudian hari.

Baca Juga: Early Childhood Discipline: A Review of the Literature 

Kembali kepada bahasan pada artikel kali ini, sikap disiplin yang dikaitkan dengan hukuman. Jika ditelaah secara perlahan, htujuan adanya hukuman adalah untuk menghentikan anak dari melakukan apa yang tidak diinginkan oleh orang dewasa. 

Baik menggunakan cara yang menyakitkan atau menyenangkan, hukuman kemudian dikategorikan oleh Velya Telep, diantaranya Hukuman Fisik (menampar, memukul, dsb).

Hukuman Verbal (mempermalukan, menertawakan, dsb), Menahan Hadiah (misal tidak diperbolehkan menonton televisi jika belum selesai dengan tugas).

Hukuman bersifat mengancam (bila melakukan kesalahan tertentu akan diwajibkan mengganti atau menebus sesuai dengan kesalahan yang diperbuat). Keempat jenis hukuman tersebut diangap sebagai metode pendisiplinan yang cukup efektif, sekalipun mengalami perbedaan pada setiap orang tua.

Membincang disiplin jika hanya diukur dari segi seberapa ia patuh dengan hukuman akan membuat anak kebingungan dengan konsep awal dari sikap tersebut. 

Bagaimanapun, sifat disiplin akan muncul ketika ia dipupuk dan diperkuat dengan contoh-contoh nyata yang tidak mengancam melainkan memberi kesempatan anak untuk menyadari bahwa perilakunya yang salah itu perlu ia perbaiki agar menjadi benar di kemudian hari. 

Bila mengacu pada konsep hukuman fisik yang notabenenya hanya mengarahkan anak untuk melupakan sejenak perbuatan yang dianggap salah tanpa pemahaman bahwa kesalahan yang ia perbuat harus melalui fase pembenaran hingga tidak ada lagi kesempatan untuknya bebas berkelakuan kurang baik lagi dikarenakan hanya telah membayar hukuman mereka diwaktu yang telah ditentukan.

Baca Juga: Terapkan Disiplin Sedini Mungkin

Hematnya, keinginan sebagai orang tua dan pendidik saat membentuk anak menjadi disiplin adalah agar mereka dapat belajar mengendalikan diri dan menjadi contoh baik dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. 

Lantas, jika disiplin tersebut terbentuk dari hukuman fisik bukankah hal tersebut justru akan mengajarkan kepada anak bahwa kekerasan adalah cara yang dapat menyelesaikan masalah? Tentu kita tak ingin hal itu terjadi bukan?

Anak-anak tumbuh dan berkembangan dari pengalaman, untuk itu membiarkan mereka mengalami konsekuensi pada setiap langkah yang menjadi pilihannya adalah sebuah cara mudah dalam mendisiplinkan mereka, tak perlu dengan fisik yang bila dipikir-pikir justru membuang energi orang dewasa. 

Tentu, tidak lantas dilepas begitu saja, tugas orang tua selanjutnya adalah sebagai pendamping yang senantiasa mengingatkan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang menjadi tanggung jawa bagi setiap pelakuknya. 

Perlahan mulai mengubah hukuman fisik dengan menggantikannya seperti konsekuensi tidak mendapat jatah makan malam, jika anak mengeluh maka orang tua dapat menjelaskan dengan detil kenapa tidak bisa mengabulkan permintaan keringanan si kecil karena hal tersebut merupakan akibat dari melanggar sebuah aturan. 

Jika hal tersebut telah mulai dijalankan, anak perlahan akan memahami dari konsekuensi yang tidak menyenangkan tersebut sehingga kemungkinan untuknya mengulangi perbuatan kurang baik akan perlahan ia tinggalkan.

Memang tidak mudah berpindah haluan menggunakan konsekuensi dalam mendisiplinkan anak, hal ini sungguh membutuhkan persedian sabar berlebih. Bagaimana tidak, dalam membuat konsekuensi pun tidak serta merta membuat aturan ini-itu, melainkan konsekuensi harus masuk akal. Dari segi penyampaiannya pun harus menggunakan bahasa lembut, ramah, namun tetap tegas dan bersahabat. 

Selamat mencoba, semoga artikel ini dapat membuka wawasan kita terkait penggunaan metode disiplin yang tepat bagi anak. karenanya, memberikan konsekuensi jauh lebih memberi dampak positif kepada anak dibandingkan disiplin fisik. 

Meski juga tidak bisa dipungkiri, setidaknya dengan metode konsekuensi ini anak akan lebih mampu membuat sebuah pilihan dan mengerti dampak yang akan ia dapat setelah memilih pilihan tersebut. Tetap semangat, semoga bermanfaat!

Malang, 15 November 2019
Alfiyah Qurrotu A'yunina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun