Mohon tunggu...
Ayuni Rahmawati
Ayuni Rahmawati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Akuntansi UPN Veteran Jakarta

never stop learning, because life never stops teaching.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Karhutla Disengaja di Atas Konsesi Hutan Papua Seluas Seoul

18 November 2020   14:35 Diperbarui: 18 November 2020   15:21 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Greenpeace/Ardiles Rante

Papua merupakan salah satu provinsi Indonesia yang sudah terkenal akan kekayaan alamnya. Segala sumber daya alam yang ada di Tanah Papua seperti laut, teluk, gua, hutan, dan kekayaan lainnya dijadikan sebagai sumber penghidupan masyarakat sekitar.

Ada yang mengeksplor sendiri sumber daya tersebut dan dijadikan sebagai pangan atau papannya, tetapi  ada juga yang memberikan izin kepada pihak lain untuk turut mengelola sumber daya tersebut. 

Sebagai contoh, wilayah hutan Papua yang merupakan salah satu hutan terluas di Indonesia kini semakin berkurang akibat pengurangan lahan yang dilakukan oleh para industri ekstraktif lahan yang ingin menggunakannya sebagai bahan baku dari kegiatan usahanya. 

Hal ini diizinkan karena perusahaan tersebut memberikan dampak terhadap pendapatan negara dan juga berjanji akan memberdayakan masyarakat sekitar. 

Namun dalam praktiknya, walaupun sudah ada prosedur dan kebijakan untuk menahan kerusakan alam, masih ada perusahaan yang melanggar peraturan tersebut contohnya adalah membuka lahan dengan cara membakarnya. Kegiatan ini tentunya melanggar aturan yang ada karena memberikan dampak yang buruk yaitu krisis ekonomi dan lingkungan.

Baru-baru ini, organisasi kampanye lingkungan internasional Greenpeace mengunggah hasil investigasinya mengenai pembakaran secara sengaja di atas hutan konsesi yang dilakukan oleh perusahaan Korea. 

Pada penelitiannya kali ini, Greenpeace menggaet Forensic Architecture, agensi riset yang membantu untuk meneliti kasus perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang berasal dari University of London. Mereka telah meneliti bahwa perusahaan asal Korea Selatan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, yaitu Korindo telah melakukan pelanggran dalam hal pembukaan lahan. 

Korindo sendiri merupakan perusahaan yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terbesar di Papua dan dalam 18 tahun terhitung dari 2001 sampai 2019, Korindo sudah memusnahkan lebih dari 57.000 hektar hutan konsesi di Kabupaten Boven Digoel yang disebut-sebut hampir seluas ibukota Korea Selatan, Seoul.

Dalam penelitiannya, Greenpeace beserta Forensic Architecture mengungkapkan lewat sebuah video bahwa Korindo Group telah sengaja membakar hutan Papua demi perluasan perkebunan kelapa sawit. Forensic Architectur membuktikan itu dengan memanfaatkan citra satelit NASA dalam kurun waktu lima tahun untuk mengetahui sumber panas kebakaran yang terjadi di salah satu konsesi Korindo yang ada di Papua yaitu PT Dongbin Prabhawa. Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa titik panas itu adalah api, Forensic Architecture melakukan analisis dari data dan survei udara yang dilakukan oleh juru kampanye Greenpeace International yang direkam pada tahun 2013. Pada akhirnya, mereka menemukan bahwa pola penggundulan hutan dan kebakaran yang terjadi menunjukkan pembukaan lahan memang menggunakan api. Peneliti senior Forensic Architectur, Samaneh Moafy mengatakan bahwa pergerakan deforestasi dan kebakaran terjadi secara berurutan dari waktu ke waktu dengan kebakaran yang mengikuti arah pembukaan lahan dari barat ke timur dan secara besar-besaran di dalam konsesi batas Korindo. Samaneh menambahkan jika kebakaran terjadi secara alami maka polanya kerusakannya tidak akan beraturan.

Namun, Korindo menampik tuduhan tersebut dan mengaku bahwa pembukaan lahan tidak dilakukan dengan pembakaran melainkan dengan menggunakan alat berat. Mereka juga bersikeras bahwa kebakaran yang terjadi merupakan akibat dari kemarau panjang. Selain itu, mereka juga menambahkan bahwa kebakaran disebabkan oleh warga sekitar yang memburu tikus yang ada di bawah tumpukan kayu dengan menggunakan api dan aksi tersebut dianggap Korindo sebagai penyebab kerugian finansial yang besar bagi operasional mereka.

Faktanya, warga yang tinggal di sekitar hutan konsesi tersebut memberikan keterangan yang berbeda. Salah satu warga mengutarakan bahwa dirinya melihat sendiri Korindo mengumpulkan serta menumpuk batang dan ranting kayu dengan alat berat lalu membakarnya dengan solar. Bahkan, salah satu warga yang tempat tinggalnya berada 20km dari area konsesi PT Dongbin Prabhawa menyatakan bahwa kampungnya tertutup asap yang membuat dunia seperti tertutup. Kejadian ini terjadi bertahun-tahun sejak perusahaan mulai membongkar hutan sampai tahun 2016 baru selesai.

Padahal, dalam UU Perkebunan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang diterapkan di Indonesia, pembakaran hutan merupakan praktik yang tergolong ilegal. Hal ini disebabkan oleh dampaknya yang sangat merugikan seperti merusak ekosistem dan kesehatan warga sekitar yang terganggu akibat asap kebakaran.

Mengenai hal ini, pemerintah Indonesia pun memberikan tanggapannya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mempertanyakan mengapa investigasi dari tahun 2013 baru diekspos sekarang, menurutnya jika terjadi hal seperti ini harus segera dilaporkan. Tanggapan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani. Rasio Ridho juga menambahkan bahwa pelepasan kawasan hutan tersebut untuk dijadikan konsesi bukan pada periode ini melainkan pada periode sebelumnya.

Kemudian Greenpeace menjawab pernyataan tersebut dengan menjelaskan bahwa persoalan mengenai kapan kebakaran itu terjadi dan siapa menteri yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini bukanlah hal yang penting karena persoalan utamanya adalah dugaan adanya pembakaran yang disengaja. Pada kenyataannya pun, kebakaran itu masih terjadi sampai tahun 2016 dan sudah ada sejumlah masyarakat Papua yang melaporkan hal tersebut tetapi sampai saat ini pemerintah belum memberikan keterangan yang pasti. Maka dari itu, menurut Greenpeace investigasi dan penyelidikan seharusnya masih menjadi tanggung jawab menteri saat ini.

Mengenai pelanggaran ini sebenarnya sudah diatur dengan konsep strict liability yang ada pada Undang Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsep ini merupakan dasar agar para pengusaha yang melakukan pelanggaran seperti ini dapat dengan mudah dihukum bahkan diberhentikan kegiatan operasionalnya tanpa memerhatikan detail unsur kesalahan. Namun, dengan adanya Omnibus Law, penggunaan konsep strict liability sebagai dasar untuk memberikan hukuman dilemahkan karena pelanggaran hanya dapat dilaporkan jika pelapor dapat membuktikan secara detail unsur kesalahannya.

Dapat disimpulkan, hutan yang merupakan sumber penghidupan bagi manusia, flora, dan fauna merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Meskipun dengan mengizinkan perusahaan untuk menjadikannya sebagai bahan baku kegiatan usahanya memberikan beberapa dampak postif seperti meningkatnya pendapatan negara dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitarnya, tetapi hal ini juga memberikan banyak dampak negatif jika dilakukan oleh pengusaha yang tidak taat aturan. Dampak negatif tersebut juga paling banyak dirasakan oleh masyarakat sekitar yaitu hilangnya kekayaan alam hayati dan masalah kesehatan. Aturan baru yang ada di UU Cipta Kerja saat ini pun semakin jadi ancaman bagi kelestarian lingkungan dan melemahkan hukuman pelanggar. Maka dari itu, peran yang mungkin dapat kita lakukan adalah dengan ikut serta dalam mengkampanyekan kasus ini agar permasalahannya segera diusut oleh pihak berwajib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun