Mohon tunggu...
Qurotul Ayun
Qurotul Ayun Mohon Tunggu... Editor - Editor dan Penulis Buku

Pekerja Teks Komersial sebagai penulis dan editor buku di sebuah penerbit mayor di Yogyakarta. IG dan Twitter @ayunqee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Storytelling, Sebuah Seni Menangkap Momen dan Menceritakannya

22 Juli 2019   11:45 Diperbarui: 22 Juli 2019   11:57 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: uxdesign.cc

Entah sudah berapa kali saya mendengar kalimat semacam ini, "Aku pengen nulis, ada banyak cerita, banyak ide, tapi aku nggak tahu cara memulainya." Setiap orang punya kencenderungan untuk bercerita, curhat, atau mengeluarkan uneg-uneg. Mereka menceritakan apa yang dialami, dirasakan, dilihat, ditemukan, didengar, dan sebagainya.

Seperti halnya fotografi, storytelling juga soal menangkap momen, lalu menceritakannya. Setiap orang bisa menjadi storyteller, karena siapa pun pasti memiliki ceritanya sendiri-sendiri.

Dari sebuah rangkaian kejadian, pasti ada momen paling menarik atau berkesan yang ingin diceritakan, walaupun mungkin tak semua orang bisa menangkap momen ini.

Karena itulah, untuk menjadi pencerita yang baik, seseorang harus lebih dulu menjadi observer yang baik untuk menangkap momen. A good storyteller is a good observer.Dengan menjadi pengamat, kita bisa melihat detail yang barangkali terlewat oleh orang lain. Kita bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda untuk menceritakan sesuatu. Kita bisa mengaitkan apa yang kita amati dengan sesuatu yang pernah kita alami.

 Selanjutnya, tuangkan momen yang berhasil kita tangkap ke dalam cerita secara tertulis. Banyak pilihan diksi dan kalimat untuk mengawali sebuah cerita (lead). 

Kita bisa menggunakan kata seru, kutipan, kalimat tanya, pernyataan, mengungkapkan sesuatu yang kontradiktif, berkesan, dan masih banyak lagi. 

Kalimat pertama adalah kesempatan kita untuk mencuri perhatian pembaca. Pada kalimat-kalimat berikutnya, berikan sentuhan dramatis lewat diksi-diksi yang membangkitkan imajinasi agar pembaca seolah-oleh ikut mengalami, meski hanya lewat tulisan.

Oleh karena itu, selain mengamati, seorang storyteller atau pencerita juga harus "menabung" diksi. Apa yang akan digunakan untuk bercerita jika "tabungan" diksinya kurang, bahkan kosong? Ibarat botol air, kita harus mengisinya agar ada air yang bisa dituang. Ada lebih dari 100 ribu kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 

Tapi tenang, kita tak perlu menghafalnya. Cukup memperbanyak baca untuk memperkaya diksi kita. Diksi ini pula yang menjadi salah satu pembentuk dan pembeda gaya bercerita kita.

Pada akhirnya, menjadi storyteller tidak berhenti pada bagaimana menangkap momen untuk bahan cerita. Tapi lebih lanjut adalah tentang bagaimana ia mampu menceritakan momen tersebut dengan baik. Selamat bercerita!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun