Mohon tunggu...
Qurotul Ayun
Qurotul Ayun Mohon Tunggu... Editor - Editor dan Penulis Buku

Pekerja Teks Komersial sebagai penulis dan editor buku di sebuah penerbit mayor di Yogyakarta. IG dan Twitter @ayunqee

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Keluarga Cemara" Tontonan Mengharukan tentang Arti Keluarga

12 Februari 2019   16:25 Diperbarui: 12 Februari 2019   16:30 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa kenangan paling berkesan di masa kecil bersama bapak?"

Pertanyaan ini cukup sulit saya jawab. Pasalnya, saat saya kecil, Bapak sering kali merantau ke luar Jawa. Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Sumba, sudah dijelajahi. 

Tahun 90an, komunikasi tentu belum semudah sekarang. Sehingga saat itu, saya kurang merasakan hadirnya seorang bapak. Meski saya tahu, Bapak melakukannya demi kami, anak-anaknya. 

Lalu saya tumbuh menjadi anak yang tak cukup dekat dengan bapaknya. Hubungan kami baik-baik saja, namun tak bisa dibilang mesra.

Saat menonton Keluarga Cemara, pertanyaan itu kembali mengetuk-ngetuk pikiran saya. Konflik di film ini sebenarnya cukup sederhana, tetapi dekat dengan kehidupan banyak orang pada umumnya, termasuk saya. 

Keluarga Cemara, terdiri dari Abah, Emak, Euis, dan Cemara---jangan tanya Agil di mana. Awalnya kehidupan mereka baik-baik saja sebagai keluarga kecil yang tergolong kaya di ibu kota. Namun, kehidupan mereka berubah drastis sejak perusahaan Abah bangkrut karena kasus penipuan. Rumah mereka disita.

Satu-satunya jalan keluar adalah kembali ke kampung halaman Abah di Bogor. Menempati rumah tua sederhana peninggalan orang tua Abah, yang jauh berbeda dengan rumah mereka di Jakarta. 

Lalu, satu per satu konflik mulai muncul. Sebagai kepala keluarga, Abah berusaha mencari pekerjaan, meski tidak mudah. Ketika pekerjaan didapat, masalah lain justru muncul dan semakin memperburuk keadaan. 

Sementara itu, kondisi ekonomi yang terpuruk memaksa Euis sebagai anak sulung untuk mengalah dengan hanya sekolah di SMP biasa, bukan SMP favorit. Ditambah, Euis harus membuang gengsi dengan berjualan opak. Emak pun tak lepas dari konflik yang semakin membuat film ini penuh warna.

Sedangkan sosok Cemara di film ini begitu mencuri perhatian dengan keluguan, kelucuan, serta kepolosannya. Celoteh-celotehnya mencairkan suasana, mengundang tawa, dan menggemaskan. Namun di sisi lain, karakternya yang keras kepala juga turut mempertajam konflik.

Dalam fim ini, konflik-konflik terjalin dengan rapi, saling berkaitan, dan tidak tumpang tindih. Alurnya tidak monoton, apalagi diselingi adegan-adegan lucu, menghasilkan tontonan yang tidak hanya mengharukan, tetapi juga menghibur. Kehadiran Asri Welas sebagai Ceu Salmah tak kalah jadi perhatian. Hampir semua scene yang menampilkan dirinya mampu mengundang tawa.

Akan tetapi, humor-humor yang diselipkan tak dapat menahan haru yang meresap ke hati setiap penonton Keluarga Cemara. Keharuan tak hanya dimunculkan oleh dialog-dialog dan adegan-adegan mengharukan, tetapi juga terbangun oleh musik latar yang mengiringi. Saat Abah berdiri termangu di depan rumah, lalu terdengar suara merdu Rara Sekar diiringi petikan gitar.

Rumah kosong... sudah lama ingin dihuni....

Rasa haru meresap diam-diam, hingga tanpa sadar, mata saya basah. Sebagai anak rantau, serta-merta saya kangen rumah.

Keluarga Cemara mengajak saya bernostalgia pada masa kecil ketika serial ini tayang. Tetapi nuansanya jelas berbeda. Dulu, serial Keluarga Cemara murni sebagai hiburan sepulang sekolah. 

Pikiran bocah saya tak pernah merenungkan lebih jauh mengenai serial ini. Tetapi sekarang, Keluarga Cemara versi film tayang saat saya sudah dewasa, saat kebanyakan orang sudah mulai berkeluarga. Dari film ini saya belajar hal penting yang berkaitan dengan parenting. Ialah mendengarkan anak.

"Dengerin Abah."

"Abah selalu minta didengerin, tapi nggak pernah dengerin Ara."

Saya pernah menjadi seperti Ara yang ingin didengar pendapatnya. Tapi siapa sih saya saat itu? Hanya bocah ingusan yang pendapatnya tak akan dianggap oleh orang dewasa. 

Dan, saya tak mau kelak anak saya merasa tidak didengar. Ya, mendengarkan pendapat anak penting, bukan? Meski pendapatnya mungkin tidak dijadikan landasan untuk sebuah keputusan, tapi orang tua harus memberi pengertian bahwa pendapatnya belum atau tidak bisa diterima. Dengan begini, paling tidak, anak merasa dihargai, dipedulikan, dan didengarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun