Mohon tunggu...
Ayu Anissa
Ayu Anissa Mohon Tunggu... Guru - Teacher

PENULIS  Kumpulan Cerpen “Alice de Wijn” ISBN 978-602-490-612-2 Tahun 2019 Penerbit CV. Intishar Publishing  Antologi Puisi “Janji Temu di Sudut Kota” ISBN 978-602-490-797-6 Tahun 2019 Penerbit CV. Intishar Publishing PENULIS KOLABORASI  Kumpulan Cerpen untuk Anak “Ini Dunia Anak” ISBN 978-623-7384-40-3 Tahun 2019 Penerbit CV. Harasi  Antologi Cermin “Cerita Mini untuk Anak” ISBN 978-623-7384-65-6 Tahun 2020 Penerbit CV. Harasi  Kumpulan Cerpen Horror “Sanggar” ISBN 978-623-94063-8-7 Tahun 2020 Penerbit Megalitera  Kumpulan Cerpen “Kebun Bunga Itu Telah Kering” ISBN 978-623-6656-37-2 Tahun 2021 Penerbit Megalitera

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Tanpa Cerita

18 Januari 2023   11:01 Diperbarui: 18 Januari 2023   11:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                   “Hahaha … maaf … maaf …. Aku hanya bercanda. Dengan atau tanpa sampur itu, kau sudah cantik, Ning,” ujar Prasasti menyundul dahi Ning dan menatap langsung pada kedua matanya.

                   Ning yang tersipu malu mengalihkan tatapannya. Prasasti terduduk di depan kotak kaca tempatnya meletakkan kain sampur itu dengan Ning yang berada disebelahnya duduk bersimpuh. Matanya mengedarkan pandangan ke penjuru ruang pameran.

                   “Tahukah kau, dahulu kala ada seorang penari kraton yang mati karena dibunuh oleh sang raja?” ujar Ning tiba-tiba.

                   “Maksudmu?” Prasasti menoleh dengan terheran-heran.

                   “Ya, dahulu kala ada seorang penari kraton yang sangat cantik. Tubuhnya sangat elok. Tariannya sangat indah. Dia adalah penari kesayangan sang raja,” Ning mulai bercerita. Matanya menatap nanar di sudut jauh ruang pameran.

                   Prasasti yang tidak memahami apa yang dikatakan Ning hanya diam saja. Ia adalah tipe lelaki yang akan mendengarkan dan menghargai seseorang berbicara, entah dia memahaminya atau tidak. Maka, walau dengan dahi yang berkerut keheranan, Prasasti memberikan perhatiannya pada wanita disampingnya itu.

                   “Dia berasal dari kalangan rakyat biasa. Dia bukan anak seorang abdi dalem, bukan nak seorang lurah atau camat, bukan anak orang berpangkat. Dia hanya seorang anak petani miskin. Hanya saja karena kecantikan dan keelokan tubuh serta kemahirannya dalam menari, ia diangkat dan dipekerjakan sebagai penari di kraton. Saking sayangnya sang raja kepadanya, para selir pun merasa cemburu,” tuturan Ning berlanjut.

                   Prasasti mulai terhanyut dan masuk dalam cerita yang dituturkan oleh Ning. Di hadapannya seolah ia melihat seorang penari yang cantik jelita. Di belakang penari itu, seorang lelaki duduk di singgasana raja didampingi oleh beberapa wanita lain yang menatap iri pada penari itu. Anehnya, pakaian yang digunakan penari itu mirip dengan busana yang dikenakan oleh Ning, kebaya hijau muda cerah, kain jarik cokelat tua, kemben sewarna daun, dan sampur kuning keemasan. Bedanya hanya pada kelat bahu berwarna emas yang sangat indah yang dikenakan penari itu di kedua lengannya.

                   “Akan tetapi, pada hari keempat puluh penari itu berada di kraton, terjadilah hal yang mengerikan. Ketika wanita itu tengah menyuguhkan tariannya di hadapan sang raja seperti hari-hari sebelumnya, sang raja seolah kesetanan. Tiba-tiba saja sang raja menghunuskan kerisnya ke arah wanita itu. Keadaan gempar seketika. Para selir berlarian dan berteriak ketakutan. Para prajurit segera datang, bermaksud untuk menenangkan keadaan yang ada. Tetapi, sang raja yang masih memegang keris yang telah berlumuran darah itu malah menghelanya ke arah seorang prajurit.”

                   Di dalam benak Prasasti, dia melihat semua kejadian yang diceritakan oleh Ning. Lelaki yang duduk di singgasana raja itu mencabut keris yang terselip di bajunya dan menusukkannya ke perut si penari. Si penari tertegun sejenak, kemudian tersenyum bengis. Ia terduduk kaku, dari sisi perutnya darah segar mengalir dengan deras. Sang raja kemudian berdiri dan menatap penuh dendam pada seorang prajurit yang berlari menghampiri si penari. Tanpa pikir panjang sang raja menghunuskan keris itu ke tengkuk prajurit yang tengah menunduk memeriksa keadaan si penari.

                   Prasasti terentak. Seketika ia memegang tengkuknya. Entah menapa ia merasakan sakit yang menghujam di bagian belakang kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun