Mataku terasa berat. Berulang kali tanganku bergerak menutup mulut yang masih saja terbuka. Perlahan aku bangkit, dan bergerak menuju dapur. Semoga saja secangkir kopi lagi bisa menghalau kantuk yang masih setia menggelayutiku.Â
Kupandangi bulir-bulir air yang menempel di kaca jendela. Sesekali hempasan angin mengiringi deraian hujan. Benar-benar kombinasi yang sempurna di tengah pekat yang menyelimuti. Kusesap kopi yang masih mengepulkan uap panas sambil sesekali membolak-balik helaian kertas di atas meja.Â
Tidak ada yang istimewa dari kertas-kertas ini. Hanya lembaran kertas yang berisi huruf dan angka yang tidak kumengerti. Yang membuatku bingung adalah perintah atasanku untuk membakar semuanya. Entah untuk alasan apa. Dan karena perintah itu pula aku harus rela memungut kertas-kertas yang beterbangan hingga mencapai belukar yang berada tak jauh dari gudang pembakaran.Â
Dengan bersusah payah aku berhasil mengumpulkan kembali helaian-helaian kertas yang telah dipermainkan angin sambil sesekali menggurutu karena ranting belukar yang dengan manisnya menggores lenganku.Â
Sekali lagi kutatap tumpukan kertas yang seharusnya sudah menjadi abu itu. Ah, besok pagi-pagi sekali semua kertas ini sudah harus berada dalam kobaran api jika aku tidak mau rentetan pertanyaan keluar dari mulut bosku. Andai saja angin sore tadi tidak usil mempermainkanku.Â