"Aku lapar," katamu.
Aku menatapmu sebentar, lalu menatap layar laptopku lagi. Ada banyak naskah yang harus selesai minggu ini, sebelum diserahkan ke bagian percetakan. Beberapa penulis memang memberikan sedikit koreksi, karena itulah aku masih harus fokus sampai semuanya benar-benar rampung.
"Jika tidak ada sepotong buah, beri aku sedikit minum. Itu sudah cukup!" kau menyambung dengan suara pelan namun menekan.
Aku melemparkan punggung dengan kesal. Untung saja kursi kerjaku selalu siap menjadi pelampiasan. Percuma mengamuk pada orang yang sedang sakit. Begitu saja kau sudah terlihat menderita dan ingin mati.
Waktu dua puluh tahun terlalu sebentar. Kau mungkin melupakannya tetapi bagiku masih sangat jelas dalam ingatan.Â
Sebagai Head of engineering perusahaan sawit terbesar di Kalimantan, bisa dibilang kau berada di puncak karirmu, sementara aku hanyalah seorang istri yang tidak berguna. Bahkan untuk melahirkan seorang bayi, aku belum bisa mewujudkannya.
Itu kan, alasan kenapa kau tega mencari perempuan lain sementara usia pernikahan kita baru tiga tahun? Karena banyak yang sanggup menggantikan posisiku apalagi dengan uang yang selalu kau hambur-hamburkan. Apakah kau tahu bahwa saat itu aku juga menginginkan keturunan tetapi aku tidak kuasa melawan kehendak-Nya?
Laki-laki sepertimu tidak akan paham bagaimana sakitnya ketika dipojokkan tentang takdir tidak bisa memiliki anak, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Aku sendiri tidak mengerti kenapa rahimku seolah tidak berguna untuk menyimpan bayi kita. Lalu, apa ini semua salahku?
"Terima kasih, Na... Rotinya enak karena disuapin dengan penuh kasih sayang. Janji ya, jangan ngambek lagi?"
Aku tersadar dari lamunan.Â