Sejak remaja saya pun banyak merantau. Saat ibu sakit, saya pulang ke kampung halaman bersama suami dan ketiga anak kami.
Ada banyak kisah mengharukan yang saya dengar tentang ibu. Baik dari penuturan adik, maupun dari tetangga dan sahabat ibu. Dari sana saya membayangkan ibu sudah menanam pohon kebaikan semasa dahulu dan memetik buah manisnya kemudian. Masya Allah.
Hidup yang indah, senantiasa dihiasi kebajikan
Hidup di dunia tidaklah abadi. Setiap kita, ingin meninggalkan dunia ini dengan cara yang mudah. Dan setelah tiada, orang lain akan mengingat kebaikan yang sudah kita lakukan, bukan sebaliknya.
Kebaikan yang dilakukan semasa hidup, semasa sehat, menjadikan waktu selama di dunia terasa indah.Â
Saya merenungi, salah satu bentuk kebajikan adalah rasa kasih.Â
Ini pula yang saya tangkap dari kunjungan dua saudari ibu. Rasa kasih itu menjelma dalam kesediaan, pengorbanan, dan keikhlasan untuk datang dari jauh. Bukan untuk bertemu dan memeluk seorang kakak yang bertahun-tahun tak dijumpai, melainkan untuk menemui sebuah pusara dan mengirim doa-doa.
Hujan pun tumpah bak air mata kerinduan
Jumat pagi, 29 Juli, saya dan adik mendapat kabar siang ini rombongan akan segera tiba.Â
Pukul 09.30 saya menjemput anak kedua kami pulang dari sekolah, langsung menuju rumah ibu. Bersama adik semata wayang dan istrinya, kami mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan saudari ibu.
Sudah pukul 12.00, ketika saya menyadari terlambat satu jam menjemput sulung kami dari sekolah. Saya merasa menyesal dan segera meminta maaf kepada sulung kami.
Hari Jumat yang penuh keberkahan. Rasa kasih seorang laki-laki kepada saudari perempuannya pun saya rasakan di hari itu. Â
Adik tidak lupa membeli makan siang dari gerai terdekat untuk kami semua sebelum pamit menuju masjid.Â