Mudik lebaran bagi kaum perantau merupakan hal yang sangat ditunggu. Sekian waktu tidak bertemu keluarga, absen menikmati masakan mamak, dan seribu alasan lain yang intinya adalah kangen!
Merantau di waktu muda
Semasa gadis, saya pergi merantau ke sebuah kota kecil di provinsi Sulawesi Tengah. Jarak tempuh dari kota Samarinda, memerlukan waktu satu hari satu malam dengan moda transportasi kapal laut serta mobil travel sampai ke alamat tujuan.
Kota Palu sebenarnya bukanlah sebuah pilihan yang tepat untuk mengadu nasib layaknya mereka yang berangkat dari desa menuju Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan. Bisa dibilang saat itu saya hanya ingin menyenangkan hati, melihat hal-hal baru di kampung orang.
Dari buku pintar yang saya baca di perpustakaan umum, kota Palu hanya seluas sepertiga kota kelahiran dimana saya dibesarkan. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Â
Hmm, ini adalah poin pertama. Saya suka mengunjungi daerah yang tenang bernuansa perkampungan. Suka melihat kesahajaan dan kesederhanaan hidup ketimbang apa yang disebut ingar-bingar.
Lebih menarik lagi, kota berjuluk seribu lembah ini juga merupakan daerah yang heterogen dengan banyak agama dan suku yang mendiaminya.Â
Suasana kekerabatan dan adat istiadat yang kental, menjadi alasan kedua mengapa saya betah melangkahkan kaki hampir setahun lamanya.
Saya tidak keberatan harus bekerja di Pertokoan (nama pusat perbelanjaan) layaknya gadis-gadis muda di sana. Kebanyakan dari mereka berasal dari desa-desa kecil di luar kota Palu.Â
Mulanya saya bekerja di toko yang menjual kaset CD (compact disc) serta alat permainan yang disebut Play Station (PS).Â
Memasuki minggu kedua, oleh pemilik toko saya dialihkan ke rental PS yang pada waktu itu sedang booming. Pengunjung yang kebanyakan anak-anak dan remaja, dapat bermain dengan tarif Rp 2500/jam dan bebas memilih atau mengganti kaset permainan.