Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belahan Jiwa Usah Bersedih

18 Januari 2022   19:46 Diperbarui: 18 Januari 2022   20:07 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Belahan Jiwa Usah Bersedih| foto: yildiz/Pinterest

Cerpen berkolaborasi puisi sahabat Kompasianer Ayu Diahastuti

Pagi merayap siang, menyesap embun bening entah kemana. Sebaris hutan pala menjadi saksi. Wajah cantik paruh baya, belahan jiwa murung layu. Kenang dan rindu menjadi raja di hati.

Sebagai ayah, momen paling menggetarkan ketegaranku, mungkin saat bayi pertama kita lahir. Aku melihat darah dagingku, kecil, mungil dan merah. Aku hampir menjatuhkan air mata saat itu. Seakan tak percaya Tuhan sudah memberi karunia seperti ini. 

Lalu saat ia menangis manja di tengah malam, merindukan kehangatanmu, menelan air susu kehidupannya, aku merasa itulah malam yang paling indah dari seluruh hidup kita.

Lalu saat ia mulai tumbuh dan belajar mengenal dunia ini, dari kaki kecilnya yang berusaha berdiri, bertahan dari keterjatuhan, aku juga merasa menjadi ayah paling beruntung. Aku merasakan genggaman jari-jari kecil, berpegangan padaku, dan takut dilepaskan. Aku merasa terhormat, saat anak kita begitu membutuhkan ayah sepertiku. Seperti diriku.

Kau menggenggam tanganku, menjatuhkan sebagian dirimu di bahuku.

Aku tahu, dan aku sudah merasakan apa yang kau derita kali ini, jauh saat anak-anak kita masih disebut nakal dan lucu. Mereka berlarian di penjuru ruangan, dengan suara pekik dan tawa yang saat itu kau sebut berisik. Kau tak tega melihatku pulang dari bekerja, disambut suasana riuh dan gaduh.

"Tidak apa-apa," kataku membujukmu. "Biarkan mereka bahagia menikmati masa kecilnya..." Akhirnya kau hanya bisa menahan senyum.

Ketika itu aku sudah tahu, kita pasti kehilangan masa-masa ini. 

Suatu hari mereka akan menjadi dewasa, memiliki sayap yang kuat untuk terbang jauh. Anak-anak kita akan meninggalkan bapak ibunya, meninggalkan dusun pala tanah kelahiran, demi menggapai cita-citanya.

Bukankah setiap keluarga akan seperti ini, akan berkeluh-kesah dan merindukan anak-anak burung pulang lagi ke sarangnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun