Sekarang setiap aku mampir ke rumah bapak, yang dicari pasti cucunya. Atau jika bapak memutuskan mengunjungiku di sini, sebenarnya yang ingin ditemuinya, ya cucunya itu.
Secangkir kopi telah siap.Â
Suamiku duduk berhadapan dengan racikan ajaib yang wajib tiap pagi dan sore tersebut. Bonus untuk siang dan tengah malam, kalau diperlukan.
Belum sampai kami ngobrol, si kecilku sudah bangun dan langsung bergelayut manja pada abah (panggilan sayang untuk suami).
Entah kenapa akhir-akhir ini, si bungsu tampak manja dan sering minta digendong abah. Â Mungkin inilah masa kecil yang indah. Saat anak perempuan bisa bermanja-manja pada abahnya sendiri.
Dua anakku lainnya, berusia 13 dan 10 tahun. Yang sulung, yang bisa dibilang dekat dengan abah. Terutama saat beliau membuka marketplace di sosmed, si kakak langsung merapat dan ikut nimbrung. Keduanya seperti disatukan oleh selera dan hobi yang sama, yaitu melihat-lihat penawaran barang tak penting untuk keluarga kami.
Suamiku tak terlalu banyak bicara, seperti halnya bapak.Â
Beliau orang yang sederhana dan lebih banyak mengambil kegiatan daripada duduk diam sambil berpikir.
Kemanapun beliau pergi, tiga anak perempuannya berekor seperti anak ayam.Â
Kalau abah mencuci motor, anak-anaknya ikut menggosok-gosok pula sambil basah-basahan.
Kalau abah naik ke gunung mencari potongan kayu dan bambu untuk membuat kandang ayam, anak-anak juga bersikeras ikut dan berusaha memanjat gunung.